Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi Dukung Rencana Jokowi Efisiensi Belanja yang Tak Menyentuh Masyarakat

Kompas.com - 15/07/2019, 14:12 WIB
Putra Prima Perdana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

BANDUNG, KOMPAS.com - Ketua TKD Jokowi-Ma'ruf Amin Jawa Barat Dedi Mulyadi mengomentari tiga fokus sorotan Presiden RI terpilih Jokowi pada pidato kemenangan di Jakarta, Minggu (14/7/2019) malam.

Yakni soal penghapusan lembaga yang tidak penting, kinerja aparat sipil negara (ASN) dan pengelolaan anggaran.

Dedi menjelaskan, problem pengelolaan anggaran di Indonesia dari pusat maupun daerah adalah sama, yakni berawal dari kelembagaan.

Menurutnya, kelembagaan di Indonesia, terutama dalam penempatan pejabat atau ASN, sering kali dilakukan dalam dua hal berpikir. Satu kebutuhan politik dan kedua yang bersifat regulatif.

Kebutuhan politik, yaitu untuk menampung kepentingan partai politik agar ada penempatan kader-kadernya pada lembaga pemerintah.

Pola berpikir semacam ini sering kali melahirkan postur kelembagaan yang gemuk. Postur kelembagaan gemuk memiliki fungsi minim.

Baca juga: Visi Indonesia, Kata Per Kata Pidato Jokowi

Sementara pada kelembagaan di tingkat organisasi perangkat daerah (OPD) juga sama, kebutuhannya bersifat regulatif, hanya untuk menampung jumlah pegawai agar punya jabatan.

Pemerintah kabupaten dan kota sering kali menjumpai banyak pejabat di kelembagaan yang mempunya kinerja buruk dan nakal. Namun kepala daerah bingung harus menempatkan orang itu di mana.

Akhirnya, pejabat itu diputar-putar dari lembaga satu ke lembaga lain. Kepala daerah tak berani melakukan non job karena kalau itu dilakukan maka akan berujung pada gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Akibat dari penempatan pejabat yang tak efektif itu, tingkat penyerapan anggaran rutin pegawai sangat tinggi. Sebab, di dalam APBD terdapat pula komponen tunjangan kierja yang tinggi.

Hal itu berdampak pula pada kemampuan fiskal untuk menyusun keuangan demi kepentingan pembangunan. Seringkali belanja rutin pegawai lebih tinggi daripada anggaran untuk pembangunan publik.

Baca juga: ICW: Reformasi Birokrasi Upaya Jokowi dalam Isu Pemberantasan Korupsi

 

Problem dana pembangunan

Dedi juga menyoroti masalah komponen pembangunan yang dinilainya juga memiliki problem. Yakni, anggaran belanja publik yang tidak langsung menyentuh kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas.

Biasanya, kata Dedi, anggaran dibagi dalam bentuk pagu, kemudian dibagi-bagi lagi berdasarkan kelembagaan. Sehingga lembaga yang tak penting dan tidak langsung bersentuhan dengan masyarakat, tetap mendapat prosi anggaran yang memadai.

"Lembaga semacam ini biasanya membuat kegiatan yang tak langsung memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat, misalnya seminar, simposium, diskusi panel hingga studi banding," kata mantan bupati Purwakarta dua periode ini.

Kegiatan semacam ini, menurut Dedi, mudah dipertanggungjawabkan dari sisi pemeriksaan karena barangnya habis pakai.

"Banyak orang senang bekerja di lembaga ini," katanya.

Baca juga: Pidato Jokowi Benar, Pembangunan SDM Dimulai dari Kesehatan Ibu Hamil

Sementara lembaga yang bersentuhan langsung dengan publik seringkali mengalami kekurangan keuangan setiap tahun karena kebutuhan publik sangat tinggi.

Lembaga ini adalah lembaga yang memberi pelayanan langsung ke masyarakat, misalnya lembaga bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

Pada sektor ini, orang mulai agak ragu bekerja karena risikonya tinggi. Misalnya, risiko keluhan dari masyarakat. Lalu risiko dari pekerjaan karena tidak dikerjakan sendiri melainkan oleh pihak ketiga melalui proses tender.

Kemudian lembaga ini paling banyak mendapat tekanan masyarakat karena pekerjaannya dirasakan dan langsung dilihat oleh publik serta mereka paling banyak mendapat pelaporan.

"Sedangkan lembaga non publik tadi paling enak. Tidak bersentuhan langsung dengan publik, pekerjaannya tak dilihat publik dan jarang membuat pelaporan," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.

Baca juga: Harapan Baiq Nuril, Amnesti Diberikan Jokowi Saat Anaknya Mengibarkan Merah Putih Agustus Nanti

 

Survei tak relevan

Kemudian pada aspek penyusunan anggaran, Indonesia dihadapkan pada survei yang 5 tahun sekali, sehingga data yang dibuat dalam penyusunan APBN smpai APBD, yaitu data 4 tahun ke balakang, sehingga tak relevan lagi.

Oleh karena itu, survei harus dibuat setiap tahun. Agar biayanya murah, dana survei diintegrasikan antara pusat dengan daerah.

Survei menjadi komponen anggaran yang harus ada di setiap daerah dan dibagi per kelembagaan.

Sehingga data statistik yang dimiliki seluruh lembaga itu valid dan satu data. Karena kennyataan saat ini sering kali data itu berbeda-beda pada setiap lembaga.

"Dari situ nanti akan terlihat postur kepentingan birokrasi untuk kepentingan layan publik," ujar anggota DPR terpilih dari Golkar itu.

Baca juga: Salah Satu Visi Pak Jokowi Merupakan Ciri Gagasan Pemimpin Cerdas

 

Sistem evaluasi anggaran

Berikutnya adalah integrasi pengeloaan keuangan pembiayaan anggaran yang diatur melalui evaluasi.

Menurut Dedi, setiap angaran provinsi bisa dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendargi). Evaluasinya ini harus tidak lagi bersifat adminsitratif, melainkan teknis. 

Lanjut Dedi, Kemendagri harus berani mencoret daerah-daerah yang mengajukan anggaran namun tidak didasarkan pada kebutuhan riil dan mendesak dari masyarakat.

Kalau di daerah itu, misalnya, tingkat infrastruktur jalannya buruk, maka problem itu yang harus menjadi skala prioritas dan meninggalkan kegiatan yang lain dulu.

Lalu contoh lain, kalau di daerah itu tingkat kemiskinannya tinggi, maka itu yang harus menjadi prioritas dalam penyelesainnya.

Begitu juga gubernur harus berani mengubah postur anggara kabupaten dan kota. Kalau di daerah itu misalnya banyak gedung SD rusak, maka itu yang harus menjadi skala prioritas.

Selain itu, jangan sampai juga membiarkan daerah yang menyusun APBD namun tidak berdasarkan pada skala prioritas.

Baca juga: Gubernur Sulsel Akan Pangkas Birokrasi Perizinan yang Persulit Investasi

Sementara untuk skala prioritas itu, dia mencari anggaran melalui bantuan gubernur dan pemerintah pusat. Sedangkan dana APBD dihabiskan untuk kegiatan rutin pemerintah. 

Dari situ pemerinah bisa membuat kualifikasi daerah. Daerah-daerah yang konsen untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat diberi DAU dan DAK yang memadai.

Itu sebagai bentuk penghargaan kepada daerah yang memiliki prestasi dan peduli pada aspek pengelolaan keuangan darah.

Sebaliknya, daerah yang suka menghambur-hamburkan anggaran untuk kepentingan birokrasi dan pejabat, harus mendapat hukuman dari pemerintah pusat.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com