Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Masyarakat Sipil NTB Usulkan 4 Calon Pimpinan KPK

Kompas.com - 01/07/2019, 21:26 WIB
Fitri Rachmawati,
Farid Assifa

Tim Redaksi

MATARAM, KOMPAS.com - Koalisi Mayarakat Sipil Nusa Tenggara Barat yang tergabung dalam Jaringan Peradilan Bersih (Jepred-Bersih) NTB mengusulkan 4 figur asal NTB sebagai calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

Empat orang yang diusulkan itu adalah seorang aktivis NGO, pejabat lembaga independen negara dan dua orang akademisi. Mereka adalah Dwi Sudarsono (aktivis NGO), Adhar Hakim SH MH (ketua Ombudsman RI) perwakilan NTB, Dr Widodo Dwi Putro SH MHum (akademisi Universitas Mataram dan Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)), serta Hotibul Islam SH MHum (akademisi Fakultus Hukum Universitas Mataram).

"Kami memilih 4 figur ini karena menginginkan orang NTB baik untuk KPK lebih baik, dan kami yakin figur-figur di NTB ini layak untuk menduduki posisi sebagai capim KPK. Kami menilai 4 figur yang kami usulkan adalah orang-orang yang kompeten dan layak untuk memimpin lembaga KPK, baik dari sisi keilmuan dan pengalaman memimpin serta jauh dari praktik-praktik korupsi," kata Amri Nuryadin SH, koordinator Jepred-Bersih NTB, yang juga aktivis Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH), dalam Jumpa Pers di Mataram, Kamis (1/7/2019).

Sejumlah lembaga independen yang mewakili suara masyarakat NTB dalam jumpa pers tersebut adalah Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi NTB), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra-NTB), Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Mataram, Alinasi Jurnalis Independen (AJI-Mataram).

Amri mengatakan, munculnya 4 figur tersebut karena kekecewaan masyarakat NTB dengan adanya framing bahwa komisioner KPK harus ada unsur kepolisian dan kejaksanaan. Hal itu akan menjadi masalah besar dalam tubuh lembaga KPK.

Baca juga: Sudah 11 Orang Daftar Calon Pimpinan KPK

 

Seleksi Komisioner KPK harus berdasarkan kriteria pakta integritas dan tidak berdasarkan penjatahan dari lembaga tertentu.

"Penjatahan seleksi komisioner KPK harus ditolak. Karena akan mengganggu cara kerja internal KPK dalam proses kerja intelijen, penyelidikan, dan penyidikan kasus tipikor yang melibatkan oknum lembaga kepolisian dan kejaksaan," kata Amri.

Penjatahan unsur kepolisian dan kejaksaan dalam seleksi komisioner KPK juga dikawatirkan akan menciptakan konflik kepentingan dalam tubuh KPK. Dimungkinkan, proses pemeriksaan kasus tipikor kandas di tengah jalan karena terjadi tekanan dari kedua lembaga ini.

Kekhawatiran di atas sejalan apabila melihat tingkat kepercayaan publik terhadap kepolisian dan kejaksaan agung masing-masing hanya 57 persen dan 63 persen, dan ini masih dalam kategori cukup rendah.

Jumlah pendaftar minim

Di sisi lain, hal yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengenai jumlah pendaftar capim KPK yang masih sangat minim setelah ditetapkannya pansel dan waktu pendaftaran.

"Apakah ini menandakan orang-orang yang akan mendaftarkan diri menjadi enggan mendaftar karena keberadaan pansel tersebut? Karena itu, panitia seleksi (pansel) Komisioner KPK dituntut tidak ter-framing komisioner KPK harus terdapat unsur kepolisian dan kejaksaan, kami tidak sepakat dengan hal itu," kata Amri.

Amri mengatakan, pihaknya mencatat beberapa poin yang dijadikan acuan pansel dalam seleksi komisioner KPK, di antaranya tidak memiliki rekam jejak buruk baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

Lalu tidak pernah tersangkut kasus pelanggaran etika profesi dalam lembaga tempat bekerja. Kemudian memiliki konsep baru dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Selanjutnya memiliki pengalaman dalam bekerja sama dengan lembaga negara dan lembaga sosial. Terakhir ialah tidak berafiliasi dengan partai politik dan lembaga swasta yang terlibat dalam gerakan radikalisme.

Berdasarkan kriteria di atas, Jepred -Bersih NTB mengusulkan figur-figur yang layak dan menunjukkan bahwa daerah memiliki orang-orang terbaik untuk menjadikan lembaga anti rasuah menjadi lebih baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com