Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Long Bambu, Gelegar Tradisi Ramadhan di Gunungkidul yang Berusia Ratusan Tahun

Kompas.com - 26/05/2019, 04:00 WIB
Markus Yuwono,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Warga Dusun Beji, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, memiliki tradisi kenduri dan membunyikan long bambu yang dilakukan setiap hari ke-21 pada bulan Ramadhan.

Mereka mempertahankan tradisi yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.

Puluhan warga berjalan menyusuri pinggiran Sungai Oya, berjalan menuju Joglo Wulenpari. Mereka membawa sekeranjang makanan yang dibawa dari rumah. Mereka meletakkannya di tengah-tengah joglo yang menghadap ke selatan tersebut.

Baca juga: Tradisi Kambua-kambua, Melantunkan Syair Kuno Buton di Pertengahan Ramadhan

Setelah semuanya kumpul dan saat memasuki berbuka, salah seorang sesepuh desa setempat kenduri, doa bersama, dan setelah selesai sebagian makanan dibawa pulang.

Tak jauh dari lokasi, suara petasan bambu atau disebut long bambu saling bersahutan dengan suara yang menggelegar.

"Tradisi menyambut malam 21 ramadan sudah dilakukan turun temurun," kata Jiyo (80), sesepuh di Dusun Beji, saat ditemui di lokasi, Sabtu (25/5/2019).

Dia menuturkan, makanan yang dibawa terdiri dari nasi, sayur, lauk tahu dan tempe, ditambah rempeyek. Setelah didoakan, mereka membagi rata makanan tadi.

Baca juga: Azan Pitu, Tradisi Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Sejak Zaman Wali Sanga

Sebagian besar yang mengikuti tradisi ini adalah ibu-ibu karena para pria kebanyakan bekerja di sawah ataupun bekerja di luar dusun.

"Sebelumnya dilakukan bergantian di dua dusun (Jelok dan Beji). Sejak dua tahun terakhir, kami mengadakan di Joglo Wulenpari," ungkapnya.

Kepala Desa Beji Edi Sutrisno mengatakan, tradisi kenduri maupun menyalakan long bambu ini sudah menjadi tradisi rutin warga dua dusun ini setiap memasuki hari ke-21 Ramadhan atau selikuran.

Malam lailatul qodar sendiri diyakini akan datang pada salah satu malam ganjil dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.

Baca juga: Sejak 1928, Ada Tradisi Dentuman Meriam Penanda Berbuka di Rangkasbitung

Tradisi ini sebagai makna menyambut malam lailatul qodar yang dalam kepercayaan Islam merupakan malam paling agung dalam bulan suci Ramadhan yang kemuliannya sama dengan malam 1.000 bulan.

Malam ke-21 juga menandai peristiwa turunnya Nabi Muhammad SAW dari gua Hira ke Jabal nur, setelah menerima wahyu pertama dari Allah melalui malaikat jibril di hari ke-17 Ramadhan.

Dia mengatakan, penyalaan long bambu dalam falsafah Jawa dimaknai sebagai penanda untuk semakin meningkatkan ketaqwaan kepada tuhan pada 10 hari terakhir Ramadhan.

"Kami tetap akan melaksanakan tradisi ini sampai kapan pun," katanya.

Baca juga: Cerita Para Petugas yang Harus Siaga, Dikira Massa Sudah Tenang, Tiba-tiba Mengamuk Lagi

Pengelola Wulenpari Aminudi Aziz mengatakan, pihaknya sengaja membawa tradisi masyarakat ke Wulenpari karena diharapkan bisa ikut menjaga tradisi penduduk.

"Kami bersama warga berkomitmen menjaga tradisi jangan sampai punah," ucapnya.

Salah seorang pemain long bambu, Yovie Pranata (12), mengaku dibuatkan long bambu oleh ayahnya. Dia sengaja ikut permainan ini karena selain mengasyikkan sambil menunggu buka puasa, dia juga ingin mendapatkan hadiah dalam lomba long bambu.

"Senang sekali, semoga menang lomba. Lumayan dapat kambing," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com