Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mbah Arjo, Manusia Tertua di Indonesia yang Meninggal Usia 193 Tahun, Mengaku Pernah Temani Soekarno Ritual

Kompas.com - 24/05/2019, 07:05 WIB
Rachmawati

Penulis

BLITAR, KOMPAS.com — Tidak banyak orang di Indonesia yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun. Satu satunya adalah Mbah Arjo Suwito, kakek asal Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kakek yang diklaim berusia 193 tahun ini meninggal Selasa (21/5/2019) malam setelah dirawat di RSUD Mardi Waluyo, Wlingi, sejak Jumat (17/5/2019) malam.

TribunJatim pernah menemui Mbah Arjo saat masih hidup pada 2018.

Meski tak ada bukti tertulis atau kesaksian orang lain, Mbah Arjo mengklaim usianya sudah 200 tahun lebih.

Namun, sesuai data di balai desanya, Mbah Arjo tercatat kelahiran 1825.

Saat itu, ia hidup bersama anaknya, Ginem (53), anak ke-18 dari istri yang keenam.

Sejak 1990-an, mereka tinggal di lereng Gunung Kelud atau tepatnya di Gunung Gedang. Dari puncak Gunung Kelud itu, tempat tinggal Mbah Arjo berjarak sekitar 10 kilometer.

Baca juga: 13 Nisan Kuno Peninggalan Masa Kerajaan Samudera Pasai Ditemukan

Tidak mudah untuk menuju lokasi karena jalannya cukup sulit dan harus melalui perkebunan pohon karet yang masuk wilayah Perhutani (BKPH Wlingi).

Untuk menuju tempat tinggal Mbah Arjo hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor yang sudah dimodifikasi seperti trail.

Tempat tinggal Mbah Arjo lebih dikenal dengan Candi Wringin Branjang, yaitu candi yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Bahkan, candi yang bangunannya mirip Candi Penataran itu disebut-disebut ditemukan pertama kali oleh Mbah Arjo pada 1990.

Saat itu, Mbah Arjo yang baru sebulan menghuni lokasi itu menemukan bangunan yang terpendam tanah pegunungan.

Ditemui Minggu (14/1/2018) pukul 09.00 WIB, ia sedang duduk di rumah sederhana dengan ukuran 3 x 4 meter.

Dinding rumahnya berasal dari bambu (gedek), tetapi sebagian belum dianyam dan cukup dipaku. Atapnya terbuat dari alang-alang bercampur jerami.

"Sejak saya tinggal di sini (1990-an), ya ini rumah saya. Ini saya tempati dengan anak perempuan saya," tutur Mbah Arjo. Saat itu ia bicaranya masih lancar, tetapi mengatakan sudah setahun kesulitan jalan.

Baca juga: Pasar Triwindu Solo, Pusatnya Barang Antik dan Kuno Khas Mangkunegaran

Sejak tak bisa jalan itu, ia tak bisa beraktivitas apa pun.

Meski hidup di tengah hutan, ia mengaku tak kesulitan air bersih atau kebutuhan makan lainnya.

Di dekat tempat tinggalnya ada sungai dengan air yang cukup jernih. Untuk makanan, ia mengandalkan sayur yang ditanam sendiri, seperti daun singkong dan bayam.

Untuk beras, ia mengatakan mendapat jatah beras raskin dari pemerintah.

"Kalau enggak dapat jatah beras, ya saya sudah biasa cukup minum air putih saja," katanya.

Ditanya usianya berapa? Mbah Arjo mengaku sudah 200 tahun.

Soal tahun kelahirannya, ia mengaku lupa dan hanya ingat harinya, yaitu Selasa Kliwon (pada subuh). Ia kelahiran Desa Gadungan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari tempatnya sekarang ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com