Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berawal dari Tempat Angker, Pesantren Ini Kini Miliki Terowongan Akhirat hingga Biogas

Kompas.com - 14/05/2019, 09:18 WIB
Sukoco,
Khairina

Tim Redaksi

MAGETAN , KOMPAS.com - Hawa sejuk langsung terasa ketika memasuki kawasan Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din di Desa Plumpung Kecamatan Plaosan Kabupten Magetan Jawa Timur.

Pondok Pesantren yang didirikan oleh Kiai Lukman Hakim pada tahun 1996 tersebut memang berada di bawah kaki Gunung Lawu, kurang lebih 17 kilometer dari pusat Kota Magetan.

Di bulan puasa seperti saat ini, Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din dipenuhi oleh ribuan siswa yang melakukan kegiatan pondok Ramadhan. Selama sebulan, beberapa sekolah di Magetan akan bergiliran megikuti kegiatan pondok Ramadhan.

“Ada sekitar 2000-an santri dari berbagai sekolah yang saaat ini mengikuti kegiatan pondok Ramadhan, kalau yang mondok sekitar 600-an santri,” ujar Kiai Lukman saat ditemui di sela- sela mengajar santri, Minggu (12/5/2019).

Baca juga: Pesantren di Magetan Ini Punya Terowongan Akhirat.

Sebelum menjadi pesantren seperti saat ini, kawasan tersebut merupakan kawasan yang dianggap wingit atau angker karena terdapat sebuah pohon beringin besar.

Warga enggan memanfaatkan kawasan perbukitan di pinggiran desa tersebut karena selain angker juga berbahaya disaat musim hujan atau angin. Dengan keuletan pendekatan kepada warga, Kiai Lukman Hidayat akhirnya berhasil membangun pesantren di kawasan tersebut.

Dari terowongan akhirat hingga pabrik tahu 

Selain mengajarkan ilmu agama, di pondok yang diasuhnya Kiai Lukman Hidayat juga mengajarkan kepada para santri untuk selalu mengingat kematian. Karena, kematian bisa datang kapan pun dan dimanapun sehingga selama menjadi santri bisa lebih fokus menuntut ilmu agama.

Baca juga: Wagub Uu Tegaskan Komitmen Jabar untuk Terbitkan Perda Pesantren

 

Untuk mengajak para santri mengingat mati, Kiai Lukman membangun sebuah terowongan dengan nama terowongan akhirat.

Terowongan buatan tersebut memang paling banyak dilewati para santri untuk menuju lantai dasar yang merupakan sebuah aula untuk kegiatan mengaji, menerima tamu, dan sebagian merupakan kamar para santriwati.

Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadin, selain mengajarkan ilmu agama juga mengajak para santri setiap saat ingat mati dengan membangun terowongan akhirat. KOMPAS.com/SUKOCO Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadin, selain mengajarkan ilmu agama juga mengajak para santri setiap saat ingat mati dengan membangun terowongan akhirat.

Kiai Lukman mengatakan, keberadaan terowongan akhirat hanyalah sebuah simbol bahwa di pesantren yang dipimpinnya tersebut, setiap santri harus ingat akan kematian. Selain menuntut ilmu untuk dunia, mereka juga harus ingat kematian.

”Santri boleh menimba ilmu dunia tetapi harus mengingat kematian dengan keberadaan terowongan akhirat. Santri yang nakal juga jadi ingat untuk membatasi diri,” ujarnya, Sabtu (11/5/2019).

Di Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din, selain mengajarkan ilmu agama, para santri juga diajak giat melakukan wirausaha. Sejumlah usaha yang melibatkan santri diantaranya adalah koperasi, pertanian, pemeliharaan sapi, serta pabrik tahu.

Baca juga: Edy Rahmayadi Ingin Pesantren Menjamur di Sumut

Pesantren saat ini memiliki 10 ekor sapi dari daya tampung kandang sapi sebanyak 40 ekor. Menurut Kiai Lukman, pemeliharaan sapi merupakan simbiosis mutualisme dengan keberadaan pabrik tahu. 

Keberadaan pabrik tahu, menurutnya, selain untuk memenuhi kebutuhan makan para santri juga merupakan unit usaha yang bisa mengajarkan kepada para santri untuk berwirausaha. Tahu hasil produksi juga dijual kepada masyarakat sekitar.

“Hari biasa produksinya 800 kilogram, kalau bulan puasa bisa satu ton kedelai setiap hari," tambahnya.

Selain bisa memenuhi kebutuhan pangan untuk pesantren dan sebagai unit usaha, limbah pabrik tahu berupa air dan ampas kedelai dimanfaatkan oleh pesantren untuk diolah menjadi pakan ternak sapi. Bahkan, warga sekitar juga memanfaatkan limbah air dan ampas tahu untuk pakan mereka.

“Setiap hari mengambil air dan ampas disini. Kalau pakai air dan ampas tahu, sapi kami bisa cepat gemuk,“ ujar Sarju, salah satu warga Desa Plumpung yang memiliki 2 ekor sapi.

Selain sebagai tabungan untuk dijual pada bulan Qurban, keberadaan ternak sapi juga merupakan salah satu penghasil bahan bakar biogas yang dimanfaatkan oleh pesantren.

Baca juga: Maruf Amin: Tugas Kiai Berat, Kirim Anak Pintar ke Pesantren

Keberadaan biogas bahkan mampu menekan kebutuhan LPG untuk memasak di Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din.

Selain memiliki instalasi biogas dari keberadaan ternak sapi, Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din juga memiliki biogas yang dihasilkan dari hampir 100 WC yang digunakan oleh para santri.

Kiai Lukman Hidayat mengatakan, keberadaan instalasi biogas dengan memanfaatkan WC para santri dicetuskan oleh mahasiswa ITS pada tahun 2013 silam. Pemanfaatan WC para santri sebagai sumber biogas, selain sebagai bentuk penghematan juga merupakan cara pondok pesantren ikut serta memerangi global warming dengan memanfaatkan sumber daya terbarukan.

“Keberadan biogas ini justru membantu mengurai limbah, karena hasil buangannya berupa air yang tidak lagi berbau dan airnya bersih,” katanya.

Keberadaan biogas dari WC para santri selain digunakan untuk memasak bahkan juga dimanfaatkan sebagai penerangan di pesantren. Menurut Kiai Lukman, selain belajar ilmu agama,seorang santri juga harus memahami teknologi.

Dalam pengajaran di Pondok Pesantren Hidayatul Mubta’din, Kiai Lukman menekankan, sebagai makhluk hidup di dunia, manusia haruslah bisa bermanfaat untuk orang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com