Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi: Saya Jenuh Setiap 5 Tahun Sekali Ganti UU Pemilu

Kompas.com - 13/05/2019, 09:14 WIB
Afdhalul Ikhsan,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KABUPATEN BOGOR, KOMPAS.com - Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengaku jenuh lantaran Undang Undang Pemilu terus mengalami pergantian dalam 5 tahun sekali.

Hal itu disampaikan Dedi saat menghadiri Pelantikan Pengurus Majelis KAHMI Daerah Bogor Periode 2019-2024 di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/5/2019) malam.

"Walaupun hari ini barangkali posisi saya menuju jadi seorang anggota parlemen (DPR RI) tetapi saya jenuh dalam 5 tahun sekali fokusnya penggantian UU pemilu dan selalu berkutat di situ," kata Dedi. 

Bukan tanpa alasan Dedi jenuh. Menurut dia, pemilu di Indonesia selama ini terus mengalami perubahan, pasca putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan kebijakan UU 7/2017 tentang pemilu serentak 2019.

Baca juga: Dedi Mulyadi Usul UU Pemilu Direvisi

Pemilu serentak ini sejatinya bisa menjamin suara rakyat di berbagai daerah yang masih mempraktekkan sistem pemilihan berdasarkan adatnya.

Namun, hal itu berbanding terbalik lantaran pemerintah seolah-olah selalu ingin menyamakan persepsi setiap daerah.

"Indonesia itu tidak bisa dibikin sama saya katakan kalau di Papua kan ada yang pakai sistem noken langsung diwakili oleh kepala adat kemudian

orang Baduy tidak mesti pemilihan langsung mereka cukup musyawarah dewan adat. Cara berpikir orang Jakarta harus dipakai cara berpikir orang Kalimantan ya enggak bisa, Indonesia itu beragam, kegagalan disebuah tempat menjadi kegagalan nasional juga," ungkapnya.

Baca juga: Mahfud MD Sarankan Pemerintah dan Lembaga Legislatif Baru Ubah UU Pemilu di Tahun Pertama

Koordinator Presidium KAHMI Jawa Barat ini, menyarankan pemerintah dan DPR untuk berpikir komprehensif dalam membuat UU Pemilu. Sehingga tidak terus menerus direvisi.

"UU pemilu mulai dari pemilihan langsung, tidak langsung, terbuka tertutup, digabung dipisah lagi. Energi kita habis untuk itu sudahlah coba kita berpikir bikin UU itu yang awet bisa dipakai 100 tahun coba berpikirnya komprehensif," terangnya.

Persoalan lain yang dia kritisi adalah UU pidana yang tidak pernah menyentuh nilai-nilai keadilan sosial karena energi bangsa ini terlalu dihabiskan oleh kepentingan politik selama 5 tahun.

Hukum Indonesia belum diisi substansi Pancasila

Tokoh masyarakat Sunda ini pun menyebut Pancasila yang selalu didengungkan sebagai ideologi bangsa, pemersatu bangsa, hanya sampai tingkat simbolisasi dari sebuah ideologi tetapi belum pada subtansi dalam menerapkan hukum.

Baca juga: Kata Mahasiswa Undip Semarang soal Pemilu Serentak 17 April 2019

"Ya hukum Indonesia belum diisi oleh Pancasila, belum diisi, KUHP kita kan produk kolonial saya katakan kalau mau ada hukum keadilan ya ada hukum adat di situ, nah di situ bisa disambung menjadi ciri khas hukum Indonesia," terangnya

"Contoh pencuri kelapa apakah harus diproses di pengadilan dengan nilai yang hanya 100 ribu jika diproses berapa keuangan negara yang harus dikeluarkan, biaya penjemputan, BAP, di penjara, setelah bebas jadi pencuri lagi kok. Coba kalau itu dipotong mata rantainya diselesaikan pada tingkat adat, di situ ada nilai yang menjadi ciri khas bangsa ini," sambungnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com