Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wabup Aceh Tengah Khawatir Bahasa Gayo Punah karena Tak Sering Digunakan

Kompas.com - 11/05/2019, 10:28 WIB
Kontributor Takengon, Iwan Bahagia ,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

TAKENGON, KOMPAS.com - Wakil Bupati (Wabup) Aceh Tengah Firdaus, menyampaikan kekhawatirannya dengan sejumlah bahasa daerah yang terancam punah, salah satunya bahasa Gayo.

Firdaus mengatakan, penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat setempat, menjadikan bahasa Gayo menghadapi ancaman kepunahan.

Bahasa Gayo keadaannya mulai kritis, penutur mulai berkurang, lama-lama bisa hilang karena anak-anak kita semuanya berbahasa Indonesia dalam berbicara sehari-hari,” kata Firdaus, di hadapan jamaah shalat isha, tarawih dan witir di masjid Baburrayan, Kampung Takengon Timur, Kamis (9/5/2019).

Baca juga: Ketika Istri Gubernur Aceh dan Bupati Gayo Lues Ikut Menari di Festival Budaya Saman

Dijelaskannya, bahasa Gayo harus dilestarikan serta dikembangkan oleh penuturnya agar tidak hilang ditelan zaman

Salah satunya dengan cara diajarkan langsung kepada anak-anak dalam perbincangan sehari-hari di lingkungan keluarga.

“Mari ajarkan anak-anak kita berbahasa Gayo, ini agar menjadi perhatian kita semua. Ada kencenderungan jika berbahasa daerah dianggap tidak modern. Padahal sebaliknya, modern itu jika tidak meninggalkan adat, istiadat dan budayanya,” ujar Firdaus.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Kompas.com, bahasa Gayo merupakan bahasa yang umumnya digunakan oleh masyarakat Suku Gayo yang merupakan suku kedua terbesar di Aceh.

Suku ini mendiami Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, sebagian Aceh Tenggara, Lokop Serbajadi di Aceh Timur, dan sebagian kecil di Kabupaten Aceh Tamiang.

Bahasa Gayo tersebut digunakan masyarakat di sejumlah kabupaten itu dengan dialeg yang berbeda.

Termasuk Proto Melayu Tua

Seorang peneliti bahasa Gayo, Yusradi Usman al-Gayoni, dalam suatu kesempatan kepada Kompas.com menjelaskan, bahasa Gayo kini jarang dituturkan, diajarkan, bahkan disebarkan masyarakat Gayo di berbagai daerah, termasuk di kampung halamannya sendiri.

Menurutnya, pusat kebudayaan Gayo ada di daerah Takengon dan sekitarnya. Namun, bahasa yang masuk rumpun Proto Melayu (Melayu tua) ini tidak bisa berkembang dan lestari sebagaimana bahasa Aceh atau bahasa Jawa.

"Ada dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Internal itu lebih kepada masyarakat Gayo yang tidak menyebarkan, mengajarkan, dan menjadikan muatan lokal di kurikulum pendidikan," terang Yusradi.

Baca juga: Perkenalkan Ari Ichlas Niate, Pembuat Mesin Pengolah Kopi dari Gayo

 

Faktor eksternal karena adanya dominasi bahasa Indonesia, interaksi budaya dari luar, pendidikan, komunikasi, dan pengaruh media massa.

Persoalan lain yang menyebabkan tidak berkembangnya bahasa Gayo lanjutnya, karena adanya kebijakan penyeragaman budaya dari pusat ke daerah. Sehingga pemerintah tempat bahasa Gayo itu dituturkan tidak dapat mengimbangi upaya tersebut dengan penyelamatan bahasa Gayo dari ancaman kepunahan.

Meski demikian ungkapnya, salah satu upaya konkret yang dilakukan pemerintah daerah adalah dengan memasukkan bahasa Gayo ke dalam kurikulum, yang saat ini sudah dilakukan di sejumlah sekolah.

"Ada dua pendekatan untuk menyelamatkan bahasa Gayo, yakni dengan membangkitkan lagi muatan lokal bahasa Gayo di sektor pendidikan, dan kepedulian masyarakat merawat warisan budaya ini," ujar Yusradi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com