Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Mahasiswa Unair soal "Quick Count" dan Klaim Kemenangan Capres

Kompas.com - 04/05/2019, 06:50 WIB
Ghinan Salman,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Hasil quick count atau hitung cepat yang dirilis sejumlah lembaga survei masih memanas. Belum lagi, pihak-pihak tertentu juga meminta proses situng KPU dihentikan.

Bahkan ada pula upaya untuk menolak hasil penghitungan resmi KPU yang menurut rencana akan diumumkan pada 22 Mei 2019 mendatang.

Wacana penolakan hitung cepat dan penolakan penghitungan suara Pemilihan Presiden 2019 oleh KPU, cukup merisaukan dan membuat masyarakat bingung. Sebab, metode ilmiah itu tergusur oleh pandangan post-truth.

Post-truth atau dikenal dengan pasca-kebenaran merupakan kondisi ketika fakta tidak terlalu memberi pengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang keyakinan dan kepercayaan personal.

Baca juga: Ini Kata Mahasiswa UGM tentang Polemik Quick Count pada Pemilu 2019

Kompas.com mewawancarai sejumlah mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur pada Kamis (2/5/2019) untuk mengetahui pendapat mereka mengenai hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei.

Irma Ayu Sofiyani, mahasiswi semester 8, Jurusan Sosiologi, Unair, berpendapat, quick count pasti sudah ada penghitungan akurasi dan error sampling.

Setiap lembaga survei, kata Irma, juga mempublikasi hasil quick count dengan hasil yang berbeda hingga menimbulkan polemik dan klaim kemenangan antara paslon, karena sampling yang diambil juga berbeda.

"Real count (KPU) yang katanya ada kesalahan input data, menurut saya diciptakan oknum yang memiliki kepentingan tertentu. Karena KPU pun menggunakan aplikasi yang bisa mendeteksi kesalahan input data dan ada data gandanya," kata Irma.

Ketika kedua paslon saling mengklaim kemenangan, menurut Irma, hal itu merupakan pencitraan di media dan bisa jadi itu menjadi strategi yang digunakan untuk menggiring opini publik.

Klaim kemenangan

Megawati Marpaung, mahasiswi semester 8, jurusan Ilmu Politik, Fisip, Unair, menyebut bahwa quick count adalah salah satu cara mengetahui siapa yang berpotensi unggul dalam suatu kontestasi dengan menggunakan metode random sampling.


Sedangkan real count merupakan penghitungan berdasarkan C1 yang sudah masuk. Dua sistem itu sama bagusnya dan tergantung dari sudut pandang masing-masing bagaimana melihatnya.

"(Klaim kemenangan) itu suatu hal yang wajar dalam suatu kontestasi. Tapi yang perlu ditekankan ketika keputusan itu sifatnya sudah mengikat, siapa pun yang menang dan kalah harus menjadi seorang negarawan," tutur Mega.

Mahasiswi semester 4 jurusan Statistika, Fakuktas Sains dan Teknologi, Unair, Nurul Afifah menilai, quick count merupakan suatu metode atau cara untuk melakukan penghitungan suara ketika mekanismenya menggunakan metode-metode statistika.

Quick count, kata dia, harus menggunakan metode yang tepat dan terpenting adalah metode samplingnya. Sampel yang diambil haruslah saling homogen di setiap TPS.

"Dari metode quick count tersebut memang tingkat kesalahannya bisa dikatakan sedikit, asal cara samplingnya tadi benar. Dari pemilu tahun-tahun sebelumnya, hasil quick count dan real count tidak jauh beda," terang Nurul.

Menurut Nurul, baik paslon 01 maupun paslon 02 memiliki kecenderungan menang di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, ia melihat presentase real count KPU yang sudah masuk tidak ada perubahan.

Meski begitu, ia berharap hasil penghitungan KPU benar-benar sesuai dan tidak ada kecurangan. Sehingga, siapa yang menang dan kalah, bisa menerima hasil penghitungan akhir dari KPU.

"Soal klaim kemenangan, menurut saya enggak perlu mendeklarasikan kemenangan dulu. Meskipun hasil quick count sudah keluar, tetap harus tunggu keputusan dari pihak yang lebih berwenang memutuskan itu," katanya.

Mahasiswi semester 2 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakuktas Ilmu Budaya, Unair, Shofiyyatul Mahrushah menyatakan, ribut-ribut mengenai hasil quick count dan real count merupakan hal biasa dalam perhelatan pemilu.

"Setiap orang punya hak untuk percaya atau tidak percaya terhadap hasil quick count. Hasil quick count memang tidak sepenuhnya bisa dijadikan patokan atas kemenangan salah satu kubu," ucap Shofi.

Baca juga: Kata Mahasiswa ITB soal Polemik Quick Count Vs Real Count

Namun demikian, ia meyakini bahwa hasil quick count yang sudah dirilis sejumlah lembaga survei tidaklah asal-asalan karena ada metode ilmiah dan sampling.

Berdasarkan pemilu-pemilu sebelumnya, quick count tidak jauh beda hasilnya dengan real count. Hasil quick count ini bisa dijadikan patokan awal penghitungan suara agar masyarakat tidak penasaran. Sebab, hasil real count membutuhkan waktu yang lebih lama.

Permasalahannya adalah setiap paslon mempunyai versi hasil quick count sendiri. Kedua paslon pun memiliki data dan hasil berbeda mengenai perolehan suara.

"Yang memicu pendukung semakin keruh, apalagi di media sosial, itu tentang masing-masing paslon yang sudah mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count masing-masing. Padahal hal itu belum pasti," jelasnya.

Tidak etis

Satrio Adi, mahasiwa semester 6 Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unair, menyebut, saling klaim kemenangan yang dilakukan masing-masing paslon tidak etis.

Apabila setiap paslon yakin menang. Cukup mendeklarasikan diri bahwa paslon 01 atau paslon 02 yakin bisa menang, bukan langsung mengklaim sudah memenangkan pemilu.

"Tapi kalau sampai mengklaim pihak sana menang, ada yang kalah, bahkan sampai teriak-teriak, itu menurut saya juga nggak etis. Lebih baik menunggu hasil resmi KPU," ujarnya.

Syifa'ul Qulub, mahasiswa semester 8 Ilmu Politik, Fisip, Unair, menyampaikan, klaim kemenangan yang dilakukan kedua kandidat paslon capres-cawapres cukup wajar.

Karena kedua pihak juga ingin memastikan semangat timses masing-masing tidak kendor ketika salah satu paslon atau pendukungnya mendeklarasikan kemenangan.

"Karena kalau sudah merasa kalah, saya yakin dari tim mereka juga akan melemah secara konsistensi, kemudian komitmen (pendukung) di kedua paslon," kata Qulub.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah klaim kemenangan ini juga membuat gaduh dan dampaknya buruk bagi masyarakat.

"Jalan keluarnya, mungkin kita sebagai masyarakat dan saya sebagai mahasiswa menunggu saja hasil resmi dari KPU," tandasnya.

Sebelumnya, hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh 54,45 persen suara, sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga meraih 45,55 persen suara.

Hasil hitung cepat Indo Barometer juga menempatkan keunggulan yang sama, Jokowi-Ma’ruf Amin 54,35 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,65 persen dengan data masuk 99,83 persen.

Baca juga: Kata Mahasiswa Unpad soal Polemik Quick Count Vs Real Count Pemilu 2019

Indikator menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin di posisi 54,58 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,42 persen dengan data masuk 99,97 persen.

Charta Politika menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin di posisi 54,33 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga di posisi 45,67 persen dengan data masuk 99,65 persen.

Perolehan yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh Poltracking yang menunjukkan Jokowi-Ma’ruf Amin meraih 54,98 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,02 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com