Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Mahasiswa USU soal Pemilu 2019: Fenomena Nurhadi-Aldo hingga Golput

Kompas.com - 29/04/2019, 05:49 WIB
Dewantoro,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Hal ini bisa dilihat dari akses ruang publik yang kerap di privatisasi dalam menerapkan sistem oligarkinya, sehingga terlihat secara jelas kepentingan itu tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terlebih lagi masyarakat tidak diberikan pendidikan politik secara khusus untuk memberikan kesadaran secara kolektif.

Hanya saja, sambungnya, bentuk-bentuk sosialisasi praktek politik yang dilakukan lembaga penyelenggara pemilu masih kurang sehingga pemilih minim kesadarannya untuk memberikan kontribusi positif untuk perubahan ke depannya.

Baca juga: Kata Mahasiswa Undip Semarang soal Pemilu Serentak 17 April 2019

Selain itu, survei pemilu sangat membingungkan dan menciptakan polemik karena negara tidak memberikan kontrol penuh terhadap lembaga survei swasta dalam melakukan kegiatan organisasinya.

Menurutnya, mungkin bisa berkaca dari quick count yang terjadi pada pemilu di Amerika Serikat pada beberapa tahun silam.

"Di situ terlihat jelas hasil quick count memberikan info yang jelas secara serentak dan tidak menimbulkan kontradiksi

Dia menambahkan, sosok pemimpin yang dibutuhkan untuk lima tahun mendatang, harus memenuhi beberapa kriteria yakni, memberikan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah.

Memberikan pendidikan yang tidak berbasis industri kapitalis dan menggenjot literasi pada peserta didik. Sistem ketatanegaraan dan aparatur pegawai sipil harus diperbaiki untuk memberantas korupsi dam menjunjung tinggi transparansi.

"Tegakkan prinsip-prinsip Pancasila. Pemimpin dan pejabat negara harus menjamin kebebasan berekspersi, kritik serta memberikan masyarakat forum evaluasi pada pemimpin dan pejabat negara lainnya di ruang publik," katanya.

Soal sosok presiden ideal

Sementara itu, Agung Adhi Laksana, mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik (Fisip) menilai, hal yang menarik dari penyelenggara pemilu 17 kemarin masyarakat yang ikut pemilu sangat berpartisipasi dan rasa ingin tahu besar karena sistem pemilu tahun ini sangat baru dan berbeda tidak seperti tahun lalu.

"Kebetulan saya ikut turun ke lapangan untuk meneliti bagaimana partisipasi pemilu 17 ini," katanya. 

Mengenai polemik real count, menurutnya sangat tidak objektif dilakukan karena hanya sebagian TPS saja sehingga tidak real dari keseluruhan maka banyak dari masyarakat beranggapan tidak sah, masyarakat beranggapan sangat ingin hasil yang mutlak. 

Dia menambahkan, Indonesia membutuhkan sosok presiden yang siap untuk (menjawab) kebutuhan dan keresahan masyarakat.

Baca juga: Kata Mahasiswa Unhas soal Pemilu 2019: Bikin Bingung hingga Anak Muda Berani Bicara

"Soalnya, kebutuhan secara umum dan kusus untuk kerasahan yang harus diterima oleh presiden ialah jeli melihat masyarakat desa yang saat ini masih jauh dari demokrasi yang diterapkan dan otonomi daerah yang sudah di tentukan," katanya.

 

Sementara itu, Thomas Rocky Nainggolan, mahasiswa USU lainnya mengatakan, pemilu 2019 masih terasa biasa saja karena masih terjadi beberapa masalah seperti surat yang sudah tercoblos sebelum hari H.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com