MALANG, KOMPAS.com - Tensi Pemilu Serentak 2019 sempat memanas ketika sejumlah lembaga survei merilis quick count hasil pemilihan presiden.
Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menolak hasil hitung cepat itu dan mengklaim telah memenangkan Pemilu.
Sedangkan, hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan keunggulan pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Melihat lawannya berulang kali deklarasi kemenangan, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin akhirnya ikut mendeklarasikan kemenangan.
Baca juga: Kata Mahasiswa Undip soal Presiden yang Dibutuhkan Indonesia
Hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh 54,45 persen suara sedangkan pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh 45,55 persen suara.
Perolehan yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh Poltracking yang menunjukkan perolehan Jokowi-Ma’ruf Amin 54,98 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,02 persen.
Hasil hitung cepat Indo Barometer juga menempatkan keunggulan yang sama, Jokowi-Ma’ruf Amin 54,35 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,65 persen dengan data masuk 99,83 persen.
Charta Politika menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin di posisi 54,33 persen sedangkan Prabowo-Sandiaga di posisi 45,67 persen dengan data masuk 99,65 persen.
Baca juga: Kata Mahasiswa Unsri Palembang soal Pemilu 2019
Adapun Indikator menempatkan Jokowi-Ma’ruf Amin di posisi 54,58 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,42 persen dengan data masuk 99,97 persen.
Lantas, bagaimana publik menilai rilis hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei tersebut?
Kompas.com mewawancarai sejumlah mahasiswa di Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur pada Jumat (26/4/2019) untuk mengetahui pendapat mereka mengenai hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei. Berikut wawancaranya:
Baca juga: Kata Mahasiswa Universitas Brawijaya Soal Pemilu 2019 dan Pahlawan Demokrasi yang Gugur
Menurutnya, lembaga survei tersebut memiliki mekanisme dalam melakukan hitung cepat sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan.
“Quick count yang sudah dirilis di televisi maupun di media online menurut saya itu lembaga yang sudah kredibel. Melalui survei dan melalui proses panjang. Kita boleh percaya, boleh ragu. Tapi kita harus melihat rekapitulasi manual dari KPU yang fix,” katanya.
Bahkan muncul rasa tidak percaya terhadap pelaksanaan Pemilu.
“Sebenarnya saya antara mau dengar dan tidak mau dengar (hasil hitung cepat). Tapi pasti tetap dengar. Saya berharap tiba-tiba ada miracle yang jadi pilihan yang sah yang mana. Di Pemilu tiba-tiba ada rasa tidak percaya, sudah ngitung malam-malam juga kalau bukan petugas siapa juga yang mau datang,” katanya.
Menurutnya, seharusnya semua pihak tidak menjadikan hasil hitung cepat sebagai patokan kemenangan.
“Mereka harus bersabar dan harus melihat quick count yang lain jadi tidak berpatokan pada satu quick count saja,” katanya.
“Sebagai warga negara yang baik seharusnya menunggu hasil dari KPU. Bagaimanapun harus mengawal pelaksanaan di KPU ini dari awal hingga akhir. Jadi jangan menyimpulkan sendiri,” imbuh mahasiswa asal Indramayu, Jawa Barat itu.
“Lembaga survei kan banyak. Tidak kali ini saja, pemilihan gubernur dan wali kota juga ada survei, cukup kredibel juga, netral lah gitu. Kalau lembaga surveinya saya lihat netral. Karena memang ada aturannya harus netral. Selama ini hasil quick count tidak jauh beda dengan real count,” katanya.
Sebab, sejumlah lembaga survei memiliki mekanisme dalam melakukan hitung cepat.
“Menurut saya sebagai mahasiswa, saya juga diajarkan untuk berpendidikan, melakukan sesuatunya itu dengan data. Kita tidak bisa menutup mata kita dengan hasil quick count soalnya hasil quick count itu ada datanya dan memang sudah terstandarisasi. Kalaupun kita mau tidak percaya, tidak bisa secara keseluruhan kita tolak. Tetap kita harus tunggu penghitungan KPU juga,” terangnya.
Mahasiswa semester 6 Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya (UB), Clarinta Ayu melihat kesimpang siuran hasil hitung cepat Pemilu 2019. Karenanya, dirinya akan menunggu hasil resmi dari KPU.
“Waktu lihat pertama itu, ya sudah lah ntar lihat akhir saja. Semakin ramai semakin tidak jelas gitu kan,” katanya.
“Saya sebagai mahasiswa melihatnya pasti ada yang curang gitu ya. Jadi mereka kedua belah pihak sama-sama ada yang curang jadi gimana ya,” kata mahasiswa asal Jakarta Selatan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.