CIREBON, KOMPAS.com –Indra Rukmana (24), pemuda difabel netra keluar dari rumahnya Rabu pagi (17/4/2019). Dengan menggunakan tongkat lipat, dia berjalan menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) 10 di Desa Sindang Laut, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon. Indra adalah salah satu difabel yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019.
Saat masuk TPS, Indra dibantu petugas karena permukaan tanah TPS lebih rendah dari jalan. Dia harus menunggu, karena petugas sedang mempersiapkan pencoblosan. Selang beberapa menit, Arum Sari, ibunya juga tiba di TPS untuk mendampingi Indra masuk ke ke bilik suara,
Saat pencoblosan dimulai, Indra mendapatkan urutan pertama. Namun Indra sempat menegur petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena petugas tidak memberikan templat braille kepadanya.
“Tadi saya menanyakan untuk templatnya, dan dari sana (petugas KPPS) pun bingung. Ini untuk apa fungsinya? Saya jelaskan, ini fungsi untuk pemilih difabel netra. Dan mereka bingung kok kenapa cuman dua? Ya saya jelaskan, (templat) ini hanya pemilihan presiden dan anggota DPD RI, sedangkan DPR Provinsi, DPRD kabupaten-Kota, dan DPR RI tidak ada templat braillenya,” kata Indra kepada Kompas.com Rabu (17/4/2019).
Juhri Ketua KPPS 10 Desa Sindang Laut, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, menjelaskan tidak ada fasilitas pembeda antara difabel dengan warga lainnya. Hanya saja, petugas KPPS memprioritaskan difabel saat menyalurkan hak suara, sehingga tidak perlu mengantri.
“Untuk ini (fasilitas) semuanya sama. Tidak ada yang beda. Difabel diutamakan, jadi kalo misalkan posisi mengantre, langsung menuju ke bilik suara,” kata Juhri. Dia menyebut ada empat orang difabel dari total 280 daftar pemilih tetap di TPS setempat.
Imam Syafi’i (30), difabel netra yang mencoblos di TPS 20 Desa Mertapada Wetan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon mengalami hal sebaliknya. Meski datang sebelum aktivitas pencoblosan dimulai, dia tetap harus mengantre. Dia tidak mendapatkan prioritas ntuk didahulukan, sehingga ia harus menunggu giliran sesuai nomor urut ke 35.
“Saya mengingatkan petugas dua sampai tiga kali. Saya kan difabel perlu didahulukan. Tapi mereka selalu jawab, sabar nanti juga dipanggil,” kata Imam kepada Kompas.com saat dihubungi melalui selular (18/4/2019).
Baca juga: Kisah Caleg Difabel dari Makassar, Habiskan Rp 10 Juta hingga Tak Miliki Saksi di TPS
Setelah mengantri satu setengah jam, Imam hanya mendapatkan satu buah templat braille, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden. Dia tidak mendapatkan templat braille DPD RI.
Imam sempat menanyakan templat braille DPD yang menjadi haknya, namun petugas tidak menemukan. Akhirnya, Imam menuju bilik suara didampingi adiknya Anis Sofiudin (28) yang membantu pencoblosan surat suara DPD yang biasa.
Imam menilai sosialisasi dan distribusi templat braille tidak maksimal sehingga informasi bahwa KPU RI hanya menyediakan dua buah templat yaitu pemilihan presiden-wakil presiden dan pemilihan anggota DPD RI tidak diketahui oleh KPPS.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.