Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PMII Sebut Politik Uang Marak di Tasikmalaya, Bawaslu Diminta Bertindak

Kompas.com - 21/04/2019, 21:12 WIB
Irwan Nugraha,
Farid Assifa

Tim Redaksi

TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat STISIP Tasikmalaya menyebut, politik uang marak di daerah berjuluk "Kota Santri" itu.

Asep pun menyatakan, pihaknya siap memberikan pendampingan saksi yang melapor terkait dengan masifnya politik uang di Kota Tasikmalaya. 

Pihaknya pun akan merahasiakan identitas pelapor untuk menjaga interpensi dari pihak-pihak yang telah melakukan politik uang selama ini.

Hal ini supaya para pelaku jera dan diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku oleh Badan Pengawas Pemilu bersama Gabungan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

"Kepada warga yang memiliki bukti, dan saksi kami akan menjamin perlindungan serta indentitas dirinya. Ini salah satu bentuk upaya kami agar tidak terjadi oligarki politik. Bahwa demokrasi hanya diperbolehkan bagi orang yang ber-uang. Sementara caleg miskin atau caleg tanpa memakai uang bisa mudah tersingkir," jelas Asep Kustiana kepada Kompas.com, Minggu (21/4/2019).

Baca juga: Bawaslu Jabar Usut 5 Kasus Dugaan Praktik Politik Uang, Ini Rinciannya

Asep mengatakan, selama ini mulai muncul pemberitaan dan temuan politik uang demi menduduki kursi legislatif. Namun tak banyak pula yang enggan menerima uang demi menjaga demokrasi tetap berjalan tanpa membeli suara.

"Beli suara ke kampung-kampung, calegnya sendiri tidak hadir. Tapi saat pencoblosan jadi banyak suaranya, itu terjadi di Tasikmalaya sekarang. Edukasi terhadap masyarakat perlu dilakukan sebetulnya," tambah Asep.

Meski demikian, kata Asep, politik uang di Tasikmalaya belum ada satu pun yang diproses secara hukum, padahal obrolan masyarakat terkait politik uang di bawah selama ini seakan sudah menjadi rahasia umum.

Mereka sudah biasa mengobrol berapa jumlah yang didapat dari para calon yang melakukan politik uang secara terang-terangan.

Aktivis PMII pun meminta Bawaslu untuk berperan aktif dan tak hanya menunggu belaka terkait fenomena ini.

"Kalau tak ada yang diproses satu pun oleh Bawaslu, ini sudah menjadi sejarah kelam Taskmalaya," katanya.

Kewalahan

Sementara itu, Bawaslu Kota Tasikmalaya mengaku selama ini kesulitan menangani politik uang di wilayahnya. Padahal, obrolan dari mulut ke mulut tak cukup untuk melanjutkan proses penanganan sebagai dugaan pelanggaran. Minimal ada pelapor, saksi dan barang bukti untuk bisa diproses ke ranah hukum.

"Masih ada waktu 7 hari sejak peristiwa ditemukan atau diketahui. Kita sangat terbuka bagi siapapun yang mau melaporkan. Sebab tidak bisa didasarkan pada obrolan warung semata, kita butuh saksi, barang bukti dan pelapor yang resmi," ujar Ketua Bawaslu Kota Tasikmalaya, Ijang Jamaludin.

Sebenarnya ada beberapa calon pelapor yang siap memberikan kronologi terjadinya politik uang. Tapi mereka selama ini mendapatkan intimidasi dari pihak terlapor dan ketakutan untuk diproses secara verbal.

"Meskipun kita sudah memberitahukan ada perlindungan saksi dari dugaan pelanggaran tersebut. Tetap saja mereka gak mau jadi saksi," ungkapnya.

Pihaknya selama ini masih terbuka dan menunggu laporan dari masyarakat. Sebab masyarakat itu sendiri yang mengetahui berapa nominal hingga kapan pembagian uang tersebut dilakukan.

Baca juga: Daerah-daerah di Jawa Barat yang Marak Politik Uang

Sebagaimana diketahui, sempat beredar informasi "pengondisian" oleh caleg untuk kampanye dirinya sekaligus capres tertentu dengan sejumlah nominal rupiah. Bahkan dari obrolan di lapangan, nominal bervariasi tergantung dari hitungan per kepala dalam satu rumah.

"Salah satu modusnya pengumpulan fotokopi KTP pada masa tenang. Kita juga mendengar, ada yang Rp 50.000, 100.000, bahkan 150.000 per orang," kata Ijang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com