Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta Bersejarah Letusan Tambora, Iklim Dunia "Berubah" hingga Napoleon Kalah Perang

Kompas.com - 10/04/2019, 18:37 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Meletusnya Gunung Tambora tercatat sebagai salah satu bencana terbesar dalam catatan sejarah dunia. Tanpa memperlihatkan tanda-tanda sebelumnya, Gunung Tambora memulai aktivitas erupsi pada 5 April 1815.

Setelah lima hari setelah erupsi pertama, Gunung Tambora mencapai erupsi puncaknya pada 10 April 1815. Gunung yang terletak di Semenanjung Sanggar, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini mengeluarkan materialnya tanpa henti.

Dampak yang ditimbulkan saat itu terbilang luar biasa. Setelah 204 tahun letusannya, Gunung Tambora tampak tenang. Hal yang berbeda adalah tinggi Gunung Tambora kini tinggal 2.851 meter atau kira-kira dua pertiga dari tinggi semula.

Berikut fakta menarik mengenai letusan Tambora:

1. Barisan tentara

Sir Thomas Stamford Raffles.npg.org.uk Sir Thomas Stamford Raffles.

Gunung Tambora sebenarnya sudah mulai aktif sejak 1812, sering mengeluarkan asap hitam. Namun, banyak orang yang menganggap bahwa Gunung Tambora kala itu sudah "punah" atau bukan gunung berapi aktif.

Tiga tahun setelahnya, gunung itu mulai menunjukkan aktivitas erupsi pertamanya. Erupsi besar pertama dimulai pada 5 April 1815, berlangsung selama 2 jam.

Merujuk pada dokumen "Raffles dan Asiatic Journal", Richard B Stothers dalam makalahnya dalam jurnal "Science" 15 Juni 1984 mengatakan, gemuruh aktivitas Gunung Tambora pada tanggal itu terdengar hingga kota Makassar (berjarak 380 km), Jakarta (1.260 km), bahkan Maluku (1.400 km).

Dalam memoirnya, Raffles mengatakan bahwa gemuruh itu awalnya dikaitkan dengan adanya meriam pada jarak jauh. Kerasnya suara membuat tentara dibariskan di Yogyakarta untuk mengantisipasi serangan pihak lain dan kapal juga dibariskan di pantai mewaspadai kondisi tertentu.

Baca juga: 5 April 1815, Saat Gunung Tambora Mengeluarkan Letusan Dahsyat..

2. Dikira meriam

Karena letusan pertama membuat bingung, orang yang tinggal di wilayah sekitar Gunung Tambora meminta pemerintah di Bima untuk melihat situasi. Pihak berwenang kemudian mengirim seseorang untuk melihat kondisi sekitar pada 9 April 1815.

Sebelum penyelidikan berlangsung, Gunung Tambora kembali erupsi pada 10 April 1815 sekitar pukul 19.00 Wita. Erupsinya berlangsung kurang dari tiga jam namun dengan skala lebih besar.

Warga di Pulau Sumatera yang berjarak 2.600 kilometer juga mendengar letusan Tambora. Namun, mereka awalnya menduga bahwa itu adalah suara letusan meriam

Cerita kedahsyatan ini juga datang dari Letnan Owen Phillip. Dia diutus Raffles ke Sumbawa membawa beras dan menyelidiki dampak letusan.

Phillip melihat seluruh bagian gunung di Sanggar tampak bagai cairan api, melebar ke segala arah. Api dan kolom asap terus saja membumbung hingga gelap sebab banyaknya material yang jatuh.

Abu kemudian mulai turun antara pukul 21.00 hingga 22.00 malam. Kemudian, pohon-pohon yang tercerabut dari akarnya serta batu-batu raksasa mulai terlempar ke Sanggar antara pukul 22.00 hingga 23.00 malam.

Awan panas lalu turun gunung dan menerjang desa Tambora, meluluhlantakkannya. Lalu muncul angin yang terjadi sekitar 1 jam.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Erupsi Gunung Tambora Berakhir

3. Hasil letusan

Kaldera Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/3/2015). Gunung Tambora meletus dahsyat pada 10 April 1815 menyisakan kaldera seluas 7 kilometer dengan kedalaman 1 kilometer.KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Kaldera Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Minggu (22/3/2015). Gunung Tambora meletus dahsyat pada 10 April 1815 menyisakan kaldera seluas 7 kilometer dengan kedalaman 1 kilometer.

Letusan itu membawa petaka. Melalui letusan Gunung Tambora, material vulkanik dikeluarkan. Sekitar 100-150 kilometer kubik material vulkanik keluar ke udara.

Tinggi payung letusan diperkirakan mencapai 30-40 kilometer di atas gunung. Sedangkan, energi letusan mencapai 1,44 x 1027 Erg atau setara dengan 171.428,60 kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945.

Dengan kapasitas luapan vulkanik seperti di atas, maka bisa mengubur negara bagian Rhode Island di AS, setinggi 55 meter, dan Singapura 245 meter dengan abu.

Gunung Tambora meletus dalam jumlah material vulkanik yang sangat besar, dan itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Periode letusan mungkin berlangsung tidak lebih dari tiga hari.

Puncak letusan mungkin telah meletuskan material pada 300-500 juta kilogram per detik. Bukan hanya magma saja, Tambora juga mengeluarkan sulfur, klorin dan fluor.

Untuk material yang mengalir ke laut menyebabkan tsunami. Gelombang tsunami dengan ketinggian 4 meter mencapai Sanggar pukul 22.00.

Gelombang menjalar hingga Besuki di Jawa bagian timur, mencapai wilayah itu dengan ketinggian sekitar 1 - 2 meter beberapa saat kemudian. Tsunami juga diperkirakan mencapai Madura dengan ketinggian 1 meter.

Dalam waktu yang cepat, material vulkanik tersebar ke mana-mana hingga ke Eropa karena embusan angin.

Diperkirakan letusan Gunung Tambora itu mencapai skala 7 dalam Volcanic Explosivity Index (VEI) yang melontarkan ratusan kilometer kubik batuan yang jika ditimbang berbobot setidaknya 10 miliar ton.

Baca juga: Letusan Dahsyat Tambora 200 Tahun Lalu, Inilah Kronologinya

4. "Perubahan iklim" dunia

Sejumlah negara ikut terkena getahnya. Materi khususnya berupa partikel debu vulkanik yang terlontarkan ke atmosfer akibat erupsi Gunung Tambora diyakini telah memengaruhi cuaca di seluruh dunia.

Musim panas setelah tahun 1815 justru didominasi hujan dan suhu dingin. Bahkan, tahun 1816 dikenal dengan sebutan "Tahun Tanpa Musim Panas" lantaran pada musim panas tahun itu suhu turun 1 hingga 2,5 derajat lebih rendah daripada biasanya.

Fenomena alam yang berlangsung di luar garis normal itu terutama paling dirasakan di sebagian Amerika Utara seperti Kanada dan sebagian besar Eropa Barat.

Cuaca dingin itu diberitakan telah merusak perkebunan di kawasan-kawasan tersebut. Panen gagal di mana-mana. Bahkan, ladang-ladang gandum dan jagung di Maine, AS, dilaporkan gagal panen akibat membeku.

Di Asia pun cuaca pada tahun 1816 tercatat abnormal. Konsentrasi tinggi dari partikel debu di lapisan atmosfer bumi akibat letusan Gunung Tambora diduga menutupi radiasi matahari, sehingga bumi menjadi lebih dingin daripada biasanya.

Di Eropa Barat, sejak awal Juni 1815, hanya berselang 1,5 bulan meletusnya Gunung Tambora yang berada jauh dari daratan Eropa, terjadi apa yang disebut "hujan salah musim".

Dampak dari erupsi Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang menewaskan sekitar 100.000 orang.

Baca juga: Tambora dan Momentum Perubahan

5. Napoleon kalah perang

Salah satu lukisan yang menampilkan sosok penguasan Perancis, Napoleon Bonaparte.BBC Salah satu lukisan yang menampilkan sosok penguasan Perancis, Napoleon Bonaparte.

Fenomena "Tahun Tanpa Musim Panas" mengakibatkan jalan-jalan utama antarnegara dan antarkota dipenuhi lumpur.

Keadaan ini tentu saja menyulitkan ambisi Napoleon untuk menginvasi sejumlah negara di Eropa. Ruang gerak tokoh Perancis ini terhambat. Gagasannya menyerbu Brussel di Belgia pun berantakan.

Sementara, pasukan penopang Perancis dengan peralatan perangnya, lengkap dengan persenjataan berat, terhalang oleh lapisan-lapisan lumpur tebal yang memenuhi jalan raya. Napoleon hanya bisa menunggu, sementara bala bantuan tetap tak kunjung tiba.

Akibat dari itu semua sungguh mengenaskan bagi kejayaan Napoleon. Pada 18 Juni 1815 ia harus menyerah kalah kepada tentara Sekutu di Waterloo, sebelum akhirnya menghabiskan sisa hidupnya hingga 1821 di tempat pembuangannya di Saint Helena.

6. Wabah kolera di dunia

Ada juga dampak lain dari letusan Tambora, yakni jadi pemicu pecahnya epidemik kolera pertama di dunia. Sebelum erupsi besar tersebut kolera sudah jadi endemik di sekitar Sungai Gangga di India.

Kemudian, epidemik kolera pecah di Bangladesh dan menyebar lebih jauh bersama pasukan Inggris, lalu bergerak ke Afghanistan dan Nepal.

Perubahan struktur tanah, musim yang tidak teratur, dan kelaparan di Bangladesh tahun 1816 diduga meningkatkan epidemik.

Terlebih lagi dengan kondisi bangkai hewan dan jenazah manusia yang tidak terkubur baik. Kondisi alam yang tidak menguntungkan itu juga melemahkan daya tahan tubuh.

Dengan kombinasi beberapa faktor itu kolera jadi mudah menular dan ganas. Erupsi itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi pembentukan bentuk baru kolera yang lebih agresif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com