KOMPAS.com - Slamet Jumiarto (42) tidak menyangka akan ditolak untuk tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, hanya karena dirinya beragama Katolik.
Hal itu terungkap setelah Slamet mencoba melapor kepada Ketua RT 008, Desa Pleret, karena baru saja mengontrak sebuah rumah di desa itu.
Saat itu, Ketua RT menjelaskan alasan penolakannya bahwa sudah ada peraturan kampung bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015.
Aturan tersebut berisi tidak memperbolehkan warga non-Muslim tinggal di Desa Pleret.
Namun, setelah upaya mediasi antara Slamet, tokoh masyarakat dan polisi, pada Senin (1/4/2019), peraturan tersebut akhirnya dicabut. Warga Dukuh Karet, Desa Pleret, pun sepakat ingin hidup rukun dan damai.
Berikut ini fakta lengkapnya:
Kepala Dukuh Karet, Iswanto, mengungkapkan, peraturan yang melarang warga non-Muslim tinggal di Desa Pleret dibuat tahun 2015.
Saat itu, dirinya bersama sekitar 30-an tokoh masyarakat dan agama membuat peraturan tersebut dengan tujuan mengantisipasi adanya campur makam antara Muslim dan agama lain.
Setelah dibahas, maka disepakati aturan pelarangan adanya pembelian tanah dan bertempat tinggalnya warga non-Muslim di Dusun Karet.
Lalu setelah kasus Slamet menjadi sorotan masyarakat dan viral di media sosial, maka peraturan tersebut dicabut dan tak diberlakukan kembali di Dukuh Karet. Keputusan tersebut diambil setelah ada mediasi antara Slamet, tokoh masyarakat dan polisi.
"Mulai hari ini sudah dicabut. Karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan tersebut kami dicabut, dan permasalahan dengan Pak Slamet tidak ada permasalahan lagi," kata Iswanto.
Baca Juga: Kisah Slamet, Melawan Peraturan Dusun yang Diskriminatif di Bantul
Kasus Slamet membuat perubahan besar bagi warga Desa Pleret. Warga dan tokoh masyarakat pun sepakat untuk tidak lagi mempermasalahkan latar belakang agama maupun suku kepada siapapun yang ingin tinggal di Desa Pleret.
Iswanto menuturkan, pihaknya hanya ingin semua warga hidup rukun. Dia mengungkapkan, dari sekitar 540 KK, ada 1 KK yang non-Muslim tinggal sejak lama, dan selama ini tidak ada permasalahan.
"Nantinya kami mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ucap Iswanto.
Sebelumnya, mediasi antara Slamet, tokoh masyarakat dan polisi telah menghasilkan kesepakatan. Salah satunya adalah mencabut peraturan diskriminatif tersebut.
"Semalam (Senin, 1/4/2018) ada kesepakatan peraturan itu dicabut," kata Slamet.