Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembangkan Kulit Buah Jadi Teknologi Nano Solar Cell, Brian Yuliarto Raih Guru Besar ITB

Kompas.com - 16/03/2019, 22:36 WIB
Putra Prima Perdana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Institut Teknologi Bandung (ITB) mengukuhkan Brian Yuliarto menjadi salah satu Guru Besar Teknik Fisika dengan usia cukup muda pada Sabtu (16/3/2019). Saat ini pria kelahiran Jakarta, 27 Juli 1975 masih berusia 43 tahun.

Status Guru Besar diberikan oleh ITB lantaran Brian dianggap telah berhasil mengaplikasikan modifikasi atau rekayasa material berukuran nano menjadi sensor.

“Kita di ITB terutama kami di Teknik Fisika telah mengembangkan aplikasi untuk sensor polusi udara dan sensor kesehatan. Ini sangat penting. Hasil- hasilnya juga setara dengan penelitian- penelitian yang ada di luar negeri di kampus kampus terkenal," kata Brian saat ditemui di Aula Barat Kampud ITB, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Sabtu sore.

Salah satu aplikasi rekayasa material nano yang dijadikan sensor dalam dunia kesehatan oleh Brian adalah sensor untuk mendeteksi penyakit sedari dini.

Baca juga: Wisuda ITS, 20 Persen Wisudawan Lulus Cum Laude

“Kita juga mengembangkan sensor sensor untuk penyakit dini baik itu cancer, gula atau diabetes melitus dan lain lainnya,” ungkap Brian.

Di bidang lingkungan, Brian juga menggunakan rekayasa material nano untuk membuat sensor pemantauan kualitas udara

“Teknologi nano ternyata juga bisa diaplikasikan untuk sensor solar cell, untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik,” bebernya.

Dalam penelitiannya, Brian mengatakan Indonesia sangat punya potensi untuk mengembangkan teknologi nano. Sebab, material untuk teknologi nano ternyata tersedia dari alam.

Baca juga: 12 Lampu Solar Cell di Jalur Pendakian Gunung Ijen Raib Dicuri

“Kekayaan alam Indonesia itu sangat melimpah, beragam. Kita berharap kekayaan alam Indonesia ini menjadi kekuatan kita dalam bersaing dengan perkembangan teknologi dengan yang dilakukan di luar negeri. Nah, kita coba mengembangkan seperti sensor untuk deteksi kanker prostat, kita ambil dari pasir di Tulungagung. Kita ektrasi pasirnya, kita buat menjadi sensor. Ternyata hasilnya tidak kalah dengan hasil hasil yang ada di luar negeri,” jelas Brian.

Tidak hanya dari material pasir, Brian mengatakan teknologi nano bahkan bisa dibuat dari buah-buahan.

“Demikian juga untuk solar cell, kita memanfaatkan natural alam Indonesia seperti kulit kulit buah buahan yang berasal dari antosianin maupun klorofil. Nah itu kita jadikan dia sebagai bahan baku solar sel,” bebernya.

Brian mengungkapkan, Indonesia mau tidak mau harus siap mengembangkan teknologi nano. Sebab, Indonesia sudah jauh tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pengembangan dan pemanfaatan teknologi nano.

Baca juga: Guru Besar ITB: Medan Magnet Bumi Berubah, Apa Dampak bagi Indonesia?

“Mau enggak mau kita harus siap. Karena ketergantungan kita terhadap barang barang luar negeri ini sangat besar. Karenanya saat ini, pemerintah maupun kampus harus terus menerus kerja sama sehingga (pengembangan teknologi nano) bisa dipercepat,” imbuhnya.

Salah satu kesulitan penelitian dan pengembangan teknologi nano, kata Brian, adalah di masalah pembiayaan.

“Memang kuncinya kita jauh tertinggal tentu dari sisi dana dan lainnya. Tetapi itu harus diatasi dengan membangun jejaring dari luar negeri. Membangun jejaring sesama peneliti peneliti di Indonesia, tak hanya di ITB. Kebersamaan inilah yang mungkin kita bisa jadikan kekuatan untuk bersaing melawan pengembangan teknologi di luar negeri yang jelas sangat maju,” ucapnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com