Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah "Hutan Tinggi Hari", Penjaga Kampung Masyarakat Adat Semende Ulu Nasal dari Bencana

Kompas.com - 10/03/2019, 11:25 WIB
Firmansyah,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.com - Suasana lestari nan asri begitu terasa saat Kompas.com menginjakkan kaki di Desa Muara Dua, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, Kamis (6/3/2019).

Hutan, gemercik air sungai, suara burung berpadu menjadi alunan indah.

Menuju desa ini membutuhkan waktu tempuh sekitar 60 menit dari Kota Bintuhan, Ibu Kota Kabupaten Kaur.

Desa ini diimpit oleh kawasan hutan dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) serta perkebunan sawit milik swasta.

Jembatan gantung menyambut saat pertama datang.

Aliran Sungai Nasal mengalir deras dipenuhi bebatuan di bawahnya. Di sebelah kiri dari jembatan dua bukit menjulang seperti menjaga dusun yang berada di bawahnya.

Desa Muara Dua seperti berada di dalam mangkuk.

Mayoritas penghuni desa dengan jumlah kepala keluarga (KK) berasal dari masyarakat adat Semende Suku Ulu Nasal. Kehidupan adat di kampung ini terasa kental.

Beberapa aturan adat diimplementasikan dalam kehidupan keseharian.

Aturan adat terasa kental saat warga dusun berusaha menjaga hutan di sebuah bukit yang melindungi desa. Bukit itu mereka namai "Tinggi Hari".

Bukit Tinggi Hari tampak tegak memesona. Kayu berusia ratusan tahun menjulang anggun disertai kerapatan yang berimpit.

Hutan di bukit ini masih asli. Berbeda dengan kawasan lain di kampung ini yang mulai dijadikan perkebunan kopi.

"Bukit Tinggi Hari, merupakan pelindung desa kami. Luasnya berkisar 20 hektare dipenuhi pepohonan tua. Pesan nenek moyang kami sejak ratusan tahun agar kami tidak mengubah fungsi hutan, meski kawasan itu bukan kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah," kata warga adat Ulu Nasal, Rapani.

Rapani berkisah, jika hutan di bukit dibuka menjadi kebun atau kayunya diambil maka bencana akan menyerang kampung yang berada di bawah bukit.

"Itu pesan leluhur, namun kami berfikir apabila hutan di bukit ditebang dapat dipastikan longsong masuk kampung. Makanya pesan leluhur itu kami pegang teguh," kata dia.

Ia mengisahkan, sekitar 10 tahun lalu, ada warga dari luar kampung tanpa izin menebang kayu di bukit. Dengan kompak, warga kampung menghentikan aksi penebangan.

"Mereka kami peringatkan dan jangan mengulanginya. Mereka minta maaf karena tidak tahu aturan adat itu. Sampai saat ini aturan itu terus kami pegang teguh," ujar Rapani.

Selain pelindung kampung, kata Rapani, Bukit Tinggi Hari merupakan penanda waktu oleh warga kampung.

Apabila sinar matahari telah sampai di puncak bukit, maka itu menandakan hari telah siang. Warga bersiap istirahat dari berkebun, makan dan solat zuhur.

"Makanya dinamakan bukit tinggi hari, ia juga bertindak sebagai penanda waktu," ujar dia.

Selain Bukit Tinggi Hari, masyarakat Adat Semende Ulu Nasal juga memiliki beberapa luasan hutan larangan yang juga tidak boleh dirambah.

Umumnya, kawasan itu sebagai sumber mata air dan penanda batas dari wilayah lain terutama perbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan.

Ancaman dari luar

Rapani khawatir, meski aturan adat masih kuat ancaman dari pihak luar terlebih perkebunan skala besar juga terus mengintai.

"Hutan di kampung kami memang berada di kawasan Areal Peruntukkan Lain (APL) memang incaran investor, kami harus melindunginya. Satu-satunya jalan melindunginya yakni dengan memperkuat aturan adat kami," kata Rapani.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Defftri, mengungkapkan, kekhawatiran warga tersebut beralasan mengingat massifnya perluasan beberapa aktifitas perkebunan dan kebutuhan warga akan wilayah terutama tanah.

Batas hutan yang tidak konsisten juga kerap menjadi persoalan bagi permukiman warga.

"Batas hutan selalu berubah sehingga petani bingung di mana sebenarnya tempat boleh untuk bertani," ujar Defftri.

"Reforma agraria yang didengungkan pemerintah harus menyentuh masyarakat adat di pelosok Bengkulu. Semua masyarakat adat berhak diakui dan dilindungi, kearifan penataan wilayah adat, kepastian hak atas tanah dan wilayah, yang semakin terimpit dengan kepastian tata batas kehutanan dan HGU perkebunan," kata dia.

Ia mengatakan, AMAN akan mendorong agar komunitas masyarakata adat Semende Ulu Nasal dapat diakui oleh pemerintah.

"Dengan adanya pengakuan maka tata laku, hukum adat mereka bisa menjadi benteng pertahanan kehidupan warga," ujar Defftri.

Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), Fahmi Arisandi, memiliki pendapat senada.

Menurut dia, masyarakat adat diakui haknya, dilindungi keberadaannya.

"Ada beberapa tata aturan perundangan, konstitusi yang mengakomodasi hak dan perlindungan serta pengakuan masyarakat adat agar mereka bisa menegakkan hukum adatnya terutama dalam melindungi wilayahnya. Sayangnya tidak semua pemerintah daerah melihat aturan itu sebagai alat pelindung keberadaan masyarakat adat," ujar dia.

Pemahaman, kearifan masyarakat adat menjaga kampung dari ancaman bencana dengan melestarikan hutan itu tumbuh secara turun temurun.

"Sesungguhnya merekalah penjaga kawasan hutan sejati. Sudah sebaiknya hak perlindungan dan pengakuan masyarakat adat segera menjadi perhatian bagi pemerintah daerah," kata Fahmi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com