Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Era Politik Digital dan Pembelajaran Kasus Video "Jika Jokowi Terpilih, Tak Ada Lagi Azan"

Kompas.com - 01/03/2019, 06:30 WIB
Farida Farhan,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KARAWANG, KOMPAS.com - Pada masa opini publik yang dicetak di ruang "maya" dianggap kerap membuat masyarakat berkeyakinan bahwa kebenaran hanya berdasarkan preferensi politiknya semata. Kebenaran menjadi hal yang relatif. 

Pakar Pemilu dari Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) Maulana Rifai menyebut pada era "politik digital" opini publik menjadi hal biasa yang dibentuk masing-masing calon. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melain juga di negara lain.

Hal inilah yang kemudian membentuk kampanye hitam dan hoaks. Kampanye hitam dan hoaks yang berserakan di ruang publik juga dituding sebagai dampak kurangnya pendidikan atau literasi politik dari tim kampanye terhadap masyarkat, khususnya para relawan.

"Sekarang ini era post-truth, pasca-kebenaran. Sekarang itu kebenaran sifatnya relatif dan subjektif. Jadi orang bisa mengklaim kebenaran sesuai dengan perspektifnya, atau sesuai dengan preferensi politiknya," ujar Rifai ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsika, Kamis (28/2/2019).

Baca juga: Ibu dari Tersangka Kampanye Hitam terhadap Jokowi Sebut Putrinya Minta Gabung Pepes

Sayangnya, kecenderungan tersebut tak hanya berlaku bagi masyarakat yang berpendidikan tinggi, melainkan juga yang berpendidikan rendah. Artinya, mereka mengklaim kebenaran sesuai preferensi politiknya.

"Mereka akan menolak ketika kebenaran itu akan bertolak belakang dengan pilihannya. Ini menurut saya jadi penyakit ya. Kalau tadi diistilahkan, penyakit bagi esensi demokrasi yang kita jalani hari ini," kata dia.

Tak Paham Akibat dan Korban "Politik Digital"

Menyikapi persoalan tiga wanita atau akrab disebut emak-emak terkait kasus video "Jika Jokowi Terpilih, Tidak Lagi Ada Azan", Rifai menilai hal ini terjadi lantaran ketidakpahaman terhadap dampak dari apa yang mereka lalukan. Apalagi kemudian diunggah di media sosial.

"Mungkin mereka tidak pernah kepikiran bahwa dampaknya bisa seluas ini, dan bisa memasukkan mereka ke dalam penjara. Karena memang ada Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik," katanya.

Baca juga: Menurut Mahfud MD, Video Dugaan Kampanye Hitam di Karawang Berpotensi Langgar UU ITE

Ia menilai tiga wanita yang kini menyandang status tersangka tersebut cenderung menggunakan perasaan ketimbang logika dan rasio.

Sehingga, ketika menerima informasi yang bersifat tendensius, dengan mudah menyebarkan di ruang publik, termasuk media sosial. Apalagi, dalam era serba digital ini, media soal mudah diakses.

Oleh karena itu, menurutnya mereka perlu diraih oleh kelompok sosial untuk diberikan pemahaman literasi politik dan literasi digital. Tujuannya, agar lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi.

Pembelajaran

Kasus video yang akhir-akhir ini santer menghiasi ruang publik tanah air ini, menurut Rifai, kiranya bisa menjadi pembelajaran bagi masing-masing elite politik, aktor politik, maupun warga biasa agar tidak terjerat kasus serupa, terutama UU ITE.

 

Disamping itu, pemahaman terhadap literasi digital juga diperlukan agar bisa membaca suatu persoalan secara jernih.

Baca juga: Fadli Zon Akui Jadi Penasihat Relawan Pepes

"Ini bisa dikatakan hal yang tidak pernah terpikir. jadi kalau mereka paham, mereka tentu akan lebih aware, lebih berhati-hati dalam menggunakan sosial media," tambahnya.

Terlepas dari ketiga wanita tersebut dimobilisasi atau tidak, Rifai menolak adanya ujaran kebencian maupun kampanye hitam lantaran merugikan salah satu kandidat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com