Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Saya Menangis, Meraung-raung di Dalam Kebun Karet"

Kompas.com - 28/02/2019, 16:11 WIB
Idon Tanjung,
Khairina

Tim Redaksi

"Harapan kami ke pemerintah minta dipikirkan bagaimana ke depan apakah itu ada asuransi atau ada bantuan kembali, supaya geliat ekonomi kami tetap jalan," ungkap Untung saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (23/2/2019).

Karena, kata dia, kebun karet yang terbakar sudah tidak bisa lagi produksi atau pohonnya akan mati.

Untung menyebutkan, kebun karet warga yang terbakar di Jalan Kampung Baru, Kelurahan Terkul, rata-rata luasnya dua hektar. Rata-rata sudah menghasilkan.

"Yang terbakar sekarang hampir sudah bisa di deres. Kalau luas semuanya yang terbakar sudah ratusan hektar. Itu baru di Kampung Baru saja. Belum lagi di lokasi yang lain. Kerugian udah enggak terhitung. Saya sendiri empat hektar, kerugian sekitar ratusan juta," tambah Untung.

Baca juga: Kronologi Pembunuhan Nita Jong, Dibuang di Kebun Karet hingga Pengungkapannya

Sementara Sugito (40) mengatakan, pemerintah juga harus bisa memikirkan bagaimana upaya penanggulangan bencana karhutla di Kecamatan Rupat. Karena kebakaran hampir setiap tahun terjadi.

"Di kampung kami ini hampir setiap tahun ada kebakaran, karena tanah gambut. Tahun 2015 itu kebun karet kami terbakar juga, sekarang terbakar lagi. Jadi yang pertama, pemerintah harus memikirkan bagaimana solusi penanggulangannya," kata Sugito pada Kompas.com, Sabtu lalu.

Kemudian yang kedua, lanjut dia, untuk memulihkan ekonomi masyarakat kembali, masyarakat perlu pembinaan apakah ada bantuan bibit atau yang lain.

Namun, yang jelas ada kepedulian pemerintah.

"Kerugian kami sudah sangat besar. Sebab inilah mata pencaharian kami di sini. Paling banyak petani karet, dan selebihnya sawit," sebutnya.

Oleh karena itu, kata Sugito, warga meminta bantuan mesin untuk pemadaman kebakaran. Setidaknya, mesin pompa air ada di setiap RT atau RW dan Desa.

"Jadi kalau ada mesin, setiap ada api kami langsung memadamkan," ujarnya.

Dia mengatakan, pada tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Bengkalis meminta masyarakat Rupat untuk menyediakan lokasi untuk pembuatan embung atau waduk berukuran besar. Namun, hasilnya nol.

"Sudah kami wakafkan lahan dua hektar untuk buat embung atau waduk. Tapi ternyata sampai sekarang tidak ada reaksinya. Tidak ada tindak lanjut dari pemerintah. Jadi setelah terjadi kebakaran, kami keteteran cari air seperti sekarang ini. Jadi kami berharap pemerintah lebih giat lagi membina masyarakat untuk memberikan pelayanan, supaya tidak ada lagi kejadian serupa," tutup Sugito.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com