Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Hukum Eksaminasi Putusan Kasus Budi Pego, Aktivis yang Dituding Komunis

Kompas.com - 28/02/2019, 09:12 WIB
Ghinan Salman,
Khairina

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Sejumlah pakar hukum dari berbagai universitas berkumpul di Ruang Pusat Studi, HRLS, Gedung C, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Rabu (27/2/2019) sore, guna melakukan eksaminasi putusan Heri Budiawan.

Heri Budiawan atau yang dikenal Budi Pego merupakan aktivis lingkungan yang menolak penambangan emas di wilayah Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Sebelumnya, pada 16 Oktober 2018, Heri divonis 4 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran komunisme menggunakan media spanduk.


Baca juga: Komnas HAM Dukung Upaya Hukum Budi Pego, Aktivis yang Dituding Komunis

Terkait putusan MA tersebut, sejumlah kalangan akademisi dari berbagai universitas dan organisasi masyarakat sipil menginisiasi untuk melakukan eksaminasi atas putusan hakim PN dan PT. 

Akademisi FH Universitas Wijaya Putra Joko Ismono berpendapat bahwa apa yang menimpa Heri Budiawan adalah kriminalisasi, karena tidak adanya bukti yang dihadirkan di setiap persidangan.

Menurutnya, penerapan pasal kejahatan terhadap keamanan negara yang dituduhkan terhadap Heri Budiawan tidak tepat.

"Hakim berpikir formalistik, tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan memperjuangkan lingkungan hidup," ucap Joko di Ruang Pusat Studi HRLS, Unair, Surabaya, Rabu.

Ia menduga bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini,  ada indikasi tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

"Karena berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam penerapan materilnya dan formilnya," ungkap Joko.

Akademisi FH Universitas Tadulako M. Tavip, selaku eksaminator, mengatakan bahwa dalam kasus Heri Budiawan ini, ia tidak melihat adanya unsur melawan hukum.

"Yang dipakai oleh hakim tingkat PN untuk memutuskan putusan terhadap kasus Heri Budiawan adalah unsur melawan hukumnya hanyalah aksi yang tidak memiliki izin. Hakim agak kacau, karena instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan izin," tegasnya.

Sementara itu, akademisi FH Unesa Hananto Widodo, eksaminator ketiga, menegaskan bahwa kasus Heri Budiawan tidak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan dipaksakan.

Menurutnya, ia menduga adanya unsur rekayasa agar Heri Budiawan kehilangan hak-haknya.

Bahkan, ia menambahkan, kasus ini hanya untuk mengalihkan isu terkait pertambangan yang ditolak oleh warga Tumpang Pitu.

"Bahwa sebenarnya pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika ia paham dengan ajaran komunisme. Sehingga dengan kasus ini, untuk ke depan pasal ini bisa menjadi pasal rawan," ucap Hananto.

Dalam eksaminasi ini, pegiat hak asasi manusia Herlambang P. Wiratraman, juga memberikan catatannya.

Menurut Herlambang, dalam putusan hakim PN dan PT, ia melihat bahwa nalar hukum hakim tidak merujuk pada satu pun tradisi aliran filsafat hukum.

"Dalam filsafat hukum terdapat 6 aliran, yakni aliran historis, naturalis, positivisme, sociological jurisprudence, utilitarianisme, realisme," ujar Direktur Pusat Studi HAM (HRLS) FH Unair itu.

"Dalam kasus ini, tidak satu pun hakim merujuk pada aliran filsafat hukum tersebut," tambah Herlambang.

Baca juga: Kapasitas Produksi Tambang Emas Tumpang Pitu Ditambah Jadi 8 Juta Ton Per Tahun

Sebagaimana diketahui, pada 16 Oktober 2018, Heri Budiawan divonis 4 tahun oleh Mahkamah Agung (MA), dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran komunisme dengan media spanduk.

Ia dijerat dengan pasal 107a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Sebelumnya, karena tuduhan tersebut, ia telah menjalani hukuman selama 10 bulan pascaterbitnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur.

Namun, karena tak terima dengan putusan PN dan PT, Heri Budiawan dan tim kuasa hukumnya mengajukan Kasasi di MA. Tapi, dalam perjalanannya, hakim MA malah menaikkannya menjadi 4 tahun.

Namun, hingga saat ini, Heri Budiawan dan tim kuasa hukum belum menerima salinan putusan tersebut.

Kompas TV Sidang perdana kasus hoaks Ratna Sarumpaet akan digelar Kamis (28/2/2019). Apa yang disiapkan pengacara dan apakah kasus ini berhenti pada Ratna saja sebagai tersangka? Sudah hadir bersama kami di studio pengacara Ratna Sarumpaet, Insank Nasruddin. Juga ahli hukum pidana Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com