Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Ngartini Huang Melestarikan Kecapi Tiongkok

Kompas.com - 06/02/2019, 07:45 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Bagi Anda yang sering menonton film-film kolosal China, pasti akan sering mendengar musik pengiring berupa instrumental kecapi.

Adegannya biasanya saat seorang putri bangsawan dengan pakaian dan dandanan khas memainkan salah satu alat musik dengan cara dipetik.

Itulah Gu Zheng, atau alat musik kecapi khas Tiongkok. Sejarah mencatat, alat ini pertama kali ditemukan masa Dinasti Qin sekira 221-206 sebelum masehi (SM). Inilah mengapa alat musik senar ini punya nama lain yaitu Qin Zheng.

Instrumen petik ini berbentuk kotak cembung dari kayu sebagai kotak suara, di atasnya terbentang 21 senar. Di tengah senar terdapat pengganjal yang dapat digeser untuk menaik turunkan nada.

Baca juga: TPS Dedi Mulyadi Dimeriahkan Pertunjukan Kecapi Suling

 

Awalnya hanya lima senar, masa Dinasti Qin dan Han jumlah senarnya bertambah menjadi 12. Berubah lagi di saat Dinasti Ming dan Qing menjadi 14 sampai 16. Sejak 1970, seperti terjadi kesepakatan bersama, jumlah senar standar Gu Zheng adalah 21.

Di Kota Medan, hanya ada seorang pemain alat petik ini, dialah Ngartini Huang. Perempuan 49 tahun ini, merasa terpanggil untuk menjaga dan melestarikan warisan sejarah leluhurnya.

Sejak sebelas tahun lalu, dia menjadi seniman dan guru yang menghasilkan banyak murid lewat Jade Music School. Letaknya di Jalan Singosari Kelurahan Seirengas Permata, Kecamatan Medan Area, Kota Medan.

"Ada seratusan murid saat ini, mulai dari umur tiga tahun sampai 80 tahun. Selain Gu Zheng, kami juga mengajarkan Pipa, alat musik petik seperti gitar modern," kata Ngartini saat ditemui pada Selasa (5/2/2019) petang.

Baca juga: Cerita Seniman Madiun Ubah Kayu Bekas Peti Kemas Jadi Alat Musik Bernilai Tinggi

"Semuanya diajari teknik dasar sampai mahir. Mulai genre klasik sampai modern, sesuai selera pasar tapi tidak menghilangkan unsur budaya. Kalau yang klasik, permainannya lebih sulit. Musik populer lebih gampang,” sambungnya.

Kalau di Kota Medan hanya dirinya saja yang piawai memainkan dawai ini, di Jakarta sedikit lebih banyak. Namun untuk ukuran Indonesia, bisa dikatakan sudah langka pemainnya.

Inilah yang memanggilnya untuk berjuang mempertahankan peninggalan seni bernilai tinggi yang tak semua bangsa memilikinya.

"Harapannya, meski tak banyak, tapi generasi penerusnya tetap ada. Sekarang, orang Medan sudah biasa mendengar dan melihat kami, sudah bisa menerima Gu Zheng," kata perempuan berambut panjang itu.

Belajar khusus ke Tiongkok

Ngartini lalu menunjukkan kepiawaiannya dengan memetik melodi Gong Xi-Gong Xi. Lagu ini biasa dipakai mengiringi acara-acara perayaan, salah satunya saat Imlek.

Petikan demi petikan nada pentatonis khas Tiongkok membawa kita menikmati kedamaian yang syahdu. Naik turun irama menarikan emosi jiwa, sesekali terdengar seperti sendu dan menghanyutkan.

Usai satu lagu, diiringi murid-muridnya, perempuan cantik itu memainkan lagu kedua, Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Lentik jemarinya menari-nari diatas senar menghasilkan harmonisasi suara yang indah.

Tak sia-sia belajar dari sang guru yang juga maestro Gu Zheng, Sun Wen Yan. Di Universitas Musik Shanghai, Sun Wen Yan adalah guru besar kecapi etnik tersebut.

Baca juga: Ekspedisi Alat Musik Nusantara, Belajar Kearifan dari Gamelan

"Saya sudah suka musik tradisional ini sejak kecil. Kemudian memutuskan memperdalam ilmu ke Tiongkok, belajar langsung sama Sun Wen Yan. Saya dapat sertifikat pemain Gu Zhen profesional,” ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Dia lalu bercerita, jaman dulu kecapi dipetik menggunakan alat bantu kuku palsu terbuat dari tempurung kura-kura atau plastik.

Tangan kanan untuk memainkan melodi, tangan kiri memainkan chord. Gu Zheng hanya dimainkan bangsawan, selain untuk menghibur, alat ini juga berfungsi sebagai media komunikasi antar kerajaan.

"Kerajaan satu dengan kerajaan lain saling berbalas-balasan, musiknya seperti tanya jawab begitu. Kalau sekarang, Gu Zheng tidak hanya untuk menghibur tapi juga untuk menjaga tradisi dan budaya," ungkap dia.

Baca juga: Mengenal Pelok Song, Alat Musik dari Biji Mangga

Kebanjiran order saat Imlek

Saat Imlek begini, Ngartini kebanjiran order. Jauh-jauh hari para penggemar sudah menjadwal dirinya. Setiap tampil, dia selalu mengenakan busana khas. Tujuannya untuk mengenalkan kebudayaan Tiongkok kepada masyarakat. Apalagi di Kota Medan, etnis Tionghoa jumlahnya cukup banyak. 

"Kalau Imlek begini, jadwal full. Ramai manggung, biasanya kita main dua kecapi, empat kecapi, atau bisa lebih besar lagi. Lagu yang kita bawain Gong Xi- Gong Xi atau Mandarin pop, yang bernuansa riang untuk Imlek-lah,” ucapnya.

Pengalaman Ngartini tak perlu diragukan lagi, selain mengisi acara, konser-konser Gu Zheng sudah sering digarapnya. Pada 2008, dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, dia terlibat dalam Denting Simfoni 100 Kecapi di Balai Sarbini, Jakarta.

Baca juga: Gendang Batak, Salah Satu Alat Musik Terlangka di Dunia

 

Sebanyak 75 seniman kecapi Indonesia dan 25 orang dari Tiongkok unjuk gigi. Akhir 2009, dia menggelar konser di Kota Medan, dilanjut konser nasional kedua pada Agustus 2014.

Mei sampai Juni 2015 adalah konser yang paling berkesan bagi dia, Palembang, Jakarta, Bandung, dan Magelang dijajalnya.

“Waktu di Magelang sekalian peringatan Waisak di Candi Borobudur, Pak Jokowi menyaksikan kami. Semoga kecapi ini bisa bertahan. Banyak generasi muda tertarik dan mau meneruskan cita-cita kami, di Medan lahir seniman-seniman kecapi lagi,” katanya menutup pertemuan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com