Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Grebeg Sudiro, Wujud Harmonisasi Pembauran Budaya Jawa-Tionghoa

Kompas.com - 03/02/2019, 20:19 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Bayu Galih

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com – Salah satu kegiatan tahunan yang diadakan di Kota Surakarta atau Solo setiap menjelang Tahun Baru Imlek adalah Grebeg Sudiro.

Tahun ini, Grebeg Sudiro digelar pada Minggu (3/2/2019) pukul 14.00 WIB, dimulai dari Pasar Gede, Jebres, Kota Surakarta.

Jika ditelusuri dari namanya, Grebeg Sudiro diambil dari nama sebuah kelurahan bernama Sudiroprajan. Wilayah ini dikenal sebagai permukiman etnis Tionghoa yang bermukim di Solo sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu.

Grebeg Sudiro pertama kali diadakan pada 2007 atas inisiasi beberapa tokoh. Saat itu, mereka mengeksplorasi apa saja kira-kira potensi yang bisa diangkat dari kampung kecil di tengah Kota Solo ini.

Hingga akhirnya disepakati potensi itu adalah "Kampung Pembauran".

Sudiroprajan menjadi lokasi permukiman Tionghoa sejak zaman keraton pada puluhan tahun lalu. Mereka hidup berdampingan dalam harmoni, membaur dengan masyarakat asli yang mayoritas berasal dari suku Jawa.

Baca juga: Grebeg Sudiro 2019, Warga Padati Kawasan Pasar Gede Solo Jelang Imlek

Salah satu persembahan masyarakat di Grebeg Sudiro 2019, mereka mengenakan pakaian khas Jawa dan merias wajah dengan karakter lucu dalam peringatan menjelang Tahun Baru Imlek.KOMPAS.com/LUTFIA AYU AZANELLA Salah satu persembahan masyarakat di Grebeg Sudiro 2019, mereka mengenakan pakaian khas Jawa dan merias wajah dengan karakter lucu dalam peringatan menjelang Tahun Baru Imlek.
Hal ini juga yang disampaikan oleh Ketua Panitia Grebeg Sudiro 2019, Angga Indrawan, saat ditemui Kompas.com beberapa jam sebelum acara dimulai.

"Konsep tentang pembauran, kerukunan antar-etnis, harmonisasi dalam berkehidupan di masyarakat, kebinekaan itu indah, itu ingin kami angkat," kata Angga.

Kehidupan masyarakat Sudiroprajan saat ini memang sudah begitu menyatu. Golongan-golongan masyarakat berbeda tidak lagi mempertentangkan perbedaan yang mereka miliki.

"Ketika mendekati Imlek seperti sekarang ini, kalau mau masuk kampung Sudiroprajan itu warga pada pasang lampion, pasang dengan sendirinya," ucap Angga.

"Mereka menghias depan rumahnya dengan lampion, karena ini sudah penerimaan budaya, tidak masalah. Orang Jawa mau pasang lampion ya monggo enggak masalah," kata dia.

Salah satu bentuk penerimaan antar-budaya yang dapat dilihat secara fisik dalam gelaran Grebeg Sudiro ini adalah adanya janur yang menjulang di antara semaraknya lampion.

Baca juga: Hujan Jadi Ladang Rezeki bagi Pedagang Plastik di Grebeg Sudiro Solo

Janur dan lampion yang terpasang di area pelaksanaan Grebeg Sudiro di Solo, Minggu (3/2/2019) sebagai bentuk harmoni budaya.KOMPAS.com/LUTHFIA AYU AZANELLA Janur dan lampion yang terpasang di area pelaksanaan Grebeg Sudiro di Solo, Minggu (3/2/2019) sebagai bentuk harmoni budaya.
Hiasan janur sangat identik dengan kebudayaan Nusantara khususnya di Jawa dan dalam ajaran Hindu. Sementara, lampion sudah menjadi ikon tersendiri bagi kaum Tionghoa, khususnya saat hari-hari besar.

Keduanya terpasang berdampingan, di beberapa suadut kawasan Pasar Gede. Terlihat kontras, namun sarat makna.

Peserta yang mau datang dibuka secara terbuka untuk umum. Siapa saja boleh menjadi bagian dari Grebeg yang sudah identik sebagai milik 'wong Solo' ini. Akan tetapi, menurut Angga, warga Sudiroprajan tetap yang diutamakan karena pesan dan konsep pembauran yang ingin dikemukakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com