Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ajak Petani Antisipasi Cuaca Ekstrem, BMKG Bikin Sekolah Iklim di Lereng Sumbing

Kompas.com - 30/01/2019, 19:33 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Khairina

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengadakan Sekolah Lapang Iklim (SLI)-Sosialisasi Agroklimat bagi para petani bawang putih di lereng Gunung Sumbing, Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang BMKG, Tuban Wibisono menjelaskan, kegiatan SLI bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan penyuluh pertanian dalam memanfaatkan informasi iklim guna mengantisipasi dampak fenomena iklim ekstrem.

"Harapan kami pengetahuan tentang cuaca/iklim petani meningkat, serta melakukan adaptasi terhadap usaha pertanian apabila terjadi dampak iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan, yang kerap menimbulkan kerugian bagi petani," jelas Tuban, di sela-sela pembukaan SLI di Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kebupaten Magelang, Rabu (30/1/2019).

Baca juga: Akibat Perubahan Iklim, Korsel Bisa Menjadi Produsen Pisang dan Mangga

Tuban melanjutkan, pemahaman informasi dan prakiraan cuaca/iklim/musim para petani sangat diperlukan agar dapat diterapkan di lapangan.

Hal itu bisa dicapai melalui pendidikan non-formal atau pertemuan dan pengalaman proses belajar berdasarkan kebutuhan lokal.

"SLI menjadi suatu pendekatan yang memberdayakan petani untuk memahami dan memanfaatkan informasi tentang cuaca/iklim/musim secara efektif dalam pertanian. Ini merupakan studi lapangan berorientasi pada program praktis yang memberikan kesempatan petani untuk belajar bersama," papar Tuban.

Deputi Klimatologi BMKG Herizal menambahkan, iklim ekstrem berdampak pada masa tanam tanaman pertanian.

Hal ini yang perlu dipahami petani terkait pola dan masa tanam yang akan diterapkan guna mencegah kerugian.

"Musim hujan awal Agustus 2018 lalu mundur sekitar 40 hari, maka harus ada penyesuaian pola tanam, jika petani tak paham maka bisa merugi," jelasnya.

Lebih lanjut, bicara pertanian maka berhubungan dengan air.

Herizal berujar, air juga berpotensi penyebaran hama karena itu petani harus bisa mengawasai perkembangan hama agar bisa dikendalikan.

Adapun proses belajar dalam SLI ini petani mengikuti daur belajar melalui pengalaman, yaitu melakukan (mengalami), mengungkapkan, menganalisa, menyimpulkan dan menerapkan kembali.

Materi yang disampaikan, lanjutnya, mulai dari bijakan tanaman pangan, program pengendalian kekeringan dan banjir, mengenal alat-alat klimatologi, hingga memahami proses pengataman menggunakan alat ukur sederhana.

"Salah satu materinya adalah pengukuran alat sederhana, misal menghitung curah hujan dihitung pakai kaleng bekas. Harapan kami ke depan para petani ini lebih hebat," tandasnya.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Magelang Tri Agung, mengapresiasi kegiatan SLI bagi petani bawang putih di desa lereng Sumbing ini.

Bawang putih merupakan komoditas utama di kawasan ini yang lahannya mencapai 85 hektar.

"Bawang putih merupakan produk yang sedang digalakkan pemerintah. Hampir 85 persen Indonesia masih impor, devisa terserap untuk impor, yang diuntungkan tentu importir. Oleh karena itu, SLI ini sangat penting bagi masyarakat khususnya petani bawang putih," ucapnya.

Kompas TV Potret pangan di tanah Nusa Tenggara yang menyimpan asa dan cita. Dalam kelindan hidup warga yang tinggal di atas kerontang dan kerasnya alam nusa tenggara ada langkah dan harapan demi penuhi kebutuhan pangan masyarakat disana. Mencoba meninggalkan kebiasaan pertanian lama dengan mengubah pola pikir dan menerapkan teknologi pertanian. Menjadi petani di tanah Nusa Tenggara Timur bukanlah perkara mudah. Para petani pun dihadapkan dengan keterbatasan. Lahan yang begitu kering kurangnya pasokan air serta perubahan iklim ekstrim terus menuntut para petani agar tetap menjemput rejeki. Secara garis besar Indonesia memiliki potensi lahan pertanian yang terhampar begitu luas terutama dengan adanya lahan kering yang luasnya mencapai 24 juta hektar. FAO mencatat sedikitnya sudah lebih dari 20 desa di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah menggunakan sistem pertanian konservasi. Misalnya di Desa Kefa, di Kabupaten Timor Timur Utara, Nusa Tenggara Timur. Sejak FAO memperenalkan sistem pertanian konservasi para petani di Desa Kefa mulai tersenyum bahagia. Program pengenalan pertanian konservasi memberikan dampak luar biasa bagi masyarakat terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com