Semua siswa yang belajar di Rumah Belajar Tunas Harapan adalah anak dari buruh perkebunan, yang rata-rata berasal dari Kabupaten Situbondo dan Jember.
Di wilayah Tlocor sendiri, terdapat 20 kepala keluarga dan untuk wilayah Seling terdapat 7 kepala keluarga.
Baca juga: Lewati Medan Sulit untuk Mengajar, llyas Diganjar Penghargaan
Sebelum ada Rumah Belajar Tunas Harapan, anak-anak belajar di mushala sederhana. Pernah suatu saat, jumlah siswa yang berasal dari Tlocor dan Seling mencapai 40 orang, sehingga mushala yang digunakan tidak mampu menampung jumlah siswa.
"Agar fokus belajar, kita buat bangunan khusus. Selain itu, agar anak-anak bisa tetap bisa main dengan binatang peliharaannya. Kalau di mushala kan enggak bisa," ujar Sukamto.
Menginap di sekolah induk
Sementara itu, Andi Prasetyo, guru relawan yang mengajar di Rumah Belajar Tunas Harapan Bangsa mengatakan, sempat kaget saat pertama kali datang ke Tlocor tempatnya mengajar.
Pria lulusan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu sudah hampir setengah tahun menjadi relawan di SD yang berada di bawah kaki Gunung Raung tersebut.
Andi adalah penerima beasiswa 'Banyuwangi Cerdas', yang berkewajiban melakukan pengabdian selama setahun untuk mengajar di wilayah Banyuwangi yang terpencil.
Sehari-hari, Andi Prasetyo dan rekannya Ikul, memilih menginap di sekolah induk SDN 7 Jambewangi. Setiap pagi, mereka berangkat ke Rumah Belajar Tunas Harapan dengan mengendarai motor.
Mereka memutuskan tidak menginap di Tlocor karena pertimbanganya tidak ingin membebani warga yang ada di Tlocor, karena rata-rata mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah yang tinggal di rumah sederhana dengan ruangan terbatas tanpa akses listrik.
"Jika menginap di sana, nanti membebani mereka. Jadi wira-wiri saja. Akses jalan ke sana juga ekstrem dan rawan pohon tumbang, apalagi kalau musim hujan dan angin. Saya pernah sekali jatuh karena salah ambil jalan yang licin," ujar dia.
Baca juga: Kisah Pak Guru Arif: Mengajar di Sekolah Rawan Longsor hingga 11 Bulan Tak Terima Gaji
"Kalau dari sini dibilang jauh, ya enggak juga, hanya 7 kilometer, tapi harus masuk hutan. Bahaya jika anak-anak sendirian," kata dia lagi.
Dalam kondisi apapun, mereka berdua tetap memilih berangkat untuk mengajar karena tidak tega dengan anak-anak yang sudah menunggu kedatangan mereka.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.