Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wacana Prabowo Tingkatkan Rasio Pajak Dianggap Bakal Bebani Rakyat

Kompas.com - 18/01/2019, 17:46 WIB
Putra Prima Perdana,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Wacana calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang ingin menaikkan rasio pajak (tax ratio) sebagai salah satu strategi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ketika nanti dia dan pasangannya, Sandiaga Salahuddin Uno, terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI dianggap bakal membebani rakyat.

Seperti diketahui, dalam debat capres/cawapres yang disiarkan di KompasTV, rencana Prabowo untuk menaikan pajak rasio dari 10 persen menjadi 16 persen adalah upaya meningkatkan gaji pejabat di semua tingkatan. Menurut dia, rencana tersebut diyakini bakal menjadi solusi pencegahan korupsi di Indonesia.

Ketua Tim Pemenangan Daerah Jokowi-Ma’ruf Amin Jawa Barat, Dedi Mulyadi berpandangan, wacana tersebut tidak perlu lantaran sudah banyak jenis tunjangan baik remunerasi maupun insentif untuk pegawai maupun pejabat yang berlaku di seluruh tingkatan, mulai dari pusat hingga daerah.

Selain itu, tunjangan itu juga berlaku di seluruh lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

“Rasio kenaikan pajak untuk kenaikan gaji itu tidak perlu. Ada mekanisme remunerasi. Ditambah hari ini ada tunjangan kinerja dinamis atau TKD. Jadi, rakyat tidak boleh dibebani dengan kenaikan pajak hanya demi menaikkan gaji pegawai dan pejabat. Kinerja aparatur tinggal digenjot saja,” kata Dedi, Jumat (18/1/2019).

Baca juga: CEK FAKTA: Pernyataan Prabowo soal Tax Ratio Indonesia

Mantan Bupati Purwakarta dua periode ini menjelaskan, berdasarkan pengalamannya, jika digabung, gaji pokok dan tunjangan per bulan para pejabat pemerintahan bisa mencapai Rp 6 juta hingga Rp 7 juta.

“Gaji pokoknya Rp 2,9 Juta, kemudian ada tunjangan kinerja dinamis atau TKD sebesar Rp 3 juta-Rp 4 juta. Kalau digabung bisa bawa pulang Rp 6 juta-Rp 7 Juta per bulan,” katanya.

Lebih lanjut ketua DPD Golkar Jawa Barat itu mengatakan, korupsi tidak terletak pada beratnya pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut dia, korupsi justru terjadi ketika orang berlomba-lomba memenuhi gaya hidup.

Sebab, lanjut Dedi, kebutuhan hidup memiliki indikator yang jelas dengan berbagai instrumen data. Sementara gaya hidup sangat sulit diidentifikasi karena bergantung pada kepuasan batin seseorang.

“Tolak ukur kebutuhan hidup itu kan jelas. Nah, bicara gaya hidup bagaimana? Enggak akan bisa terukur. Itu wilayah personal karena hanya aspek batin masing-masing orang yang bisa mengukur,” ujarnya.

Dedi pun mengimbau kepada semua pihak agar menghentikan gaya hidup konsumtif. Pemenuhan gaya hidup tersebut harus dihindari agar tidak memanfaatkan setiap peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.

“Berapa pun besaran gaji, kalau tolak ukurnya gaya hidup tidak akan membahagiakan,” katanya.

Keadilan pajak

Dedi mengatakan, ketika Prabowo akan menaikkan rasio pajak untuk meningkatkan gaji aparatur negara, Dedi malah sebaliknya.

Ia mengatakan, untuk mengubah negeri ini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah bukan menaikkan rasio pajak, melainkan membangun keadilan pajak. Pembagian hasil pajak pada daerah tujuan harus terstruktur dari bawah ke atas.

Maksudnya, kata Dedi, kalau ada pabrik di sebuah desa, maka desa itu harus mendapat alokasi pembagian pajak. Kalau di sebuah desa itu ada pabrik yang menghasilkan Rp 200 miliar per tahun, maka desa dapat 2 persen saja, maka ia mendapat sekitar Rp 6 miliar per tahun.

"Kalau desa dapat Rp 6 miliar setiap tahun, saya pastikan tidak akan ada rumah jelek, jalan bagus, rakyat dapat jatah beras bagus, sekolah pasti gratis. Desa itu akan sejahtera. Tingal pemerintah pusat mengontrol," kata Dedi.

Namun hari ini, kata Dedi, pola keuangan terus menerus terpusat dan itu merupakan warisan kolonial. Pola ini akan sulit untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

"Yang menjadi probelm hari ini kan uang dari daerah ditarik ke atas. Lalu dari atas bagi-bagi ke daerah. Orang daerah harus ngemis lagi. Ketika ngemis lagi, mohon maaf, orang daerah juga harus bayar. Kan kasihan orang daerah. Dia berani membayar demi alokasi yang cukup untuk daerah, tapi risikonya kan ditangkap," ungkap Dedi.

Baca juga: Pandangan Prabowo soal Kesejahteraan untuk Cegah Korupsi Dinilai Tak Selalu Efektif

Degan demikian, kata Dedi, yang diperbaiki adalah manajerial keuangan. Uang di daerah itu jangan ditarik ke atas untuk didistribusikan kembali ke daerah. Uang hasil pembagian pajak sudah sejak di daerah itu terdistribusi dan berada pada bank daerah masing-masing.

"Ini yang disebut otonomi. Sistem otonomi yang digulirkan sejak zaman Pak Habibie mulai ditinggalkan. Padahal sistem otonomi seperti itu bagus. Sepanjang sejarah Indonesia, Indonesia itu dulu zaman kerajaan maju karena otonomi. Kan ada kerajaan Sriwijaya, Pajajaran, dan Majapahit. Mereka kerajaan-kerajaan maju. Kan begitu ceritanya," tutur Dedi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com