Maksudnya, kata Dedi, kalau ada pabrik di sebuah desa, maka desa itu harus mendapat alokasi pembagian pajak. Kalau di sebuah desa itu ada pabrik yang menghasilkan Rp 200 miliar per tahun, maka desa dapat 2 persen saja, maka ia mendapat sekitar Rp 6 miliar per tahun.
"Kalau desa dapat Rp 6 miliar setiap tahun, saya pastikan tidak akan ada rumah jelek, jalan bagus, rakyat dapat jatah beras bagus, sekolah pasti gratis. Desa itu akan sejahtera. Tingal pemerintah pusat mengontrol," kata Dedi.
Namun hari ini, kata Dedi, pola keuangan terus menerus terpusat dan itu merupakan warisan kolonial. Pola ini akan sulit untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
"Yang menjadi probelm hari ini kan uang dari daerah ditarik ke atas. Lalu dari atas bagi-bagi ke daerah. Orang daerah harus ngemis lagi. Ketika ngemis lagi, mohon maaf, orang daerah juga harus bayar. Kan kasihan orang daerah. Dia berani membayar demi alokasi yang cukup untuk daerah, tapi risikonya kan ditangkap," ungkap Dedi.
Baca juga: Pandangan Prabowo soal Kesejahteraan untuk Cegah Korupsi Dinilai Tak Selalu Efektif
Degan demikian, kata Dedi, yang diperbaiki adalah manajerial keuangan. Uang di daerah itu jangan ditarik ke atas untuk didistribusikan kembali ke daerah. Uang hasil pembagian pajak sudah sejak di daerah itu terdistribusi dan berada pada bank daerah masing-masing.
"Ini yang disebut otonomi. Sistem otonomi yang digulirkan sejak zaman Pak Habibie mulai ditinggalkan. Padahal sistem otonomi seperti itu bagus. Sepanjang sejarah Indonesia, Indonesia itu dulu zaman kerajaan maju karena otonomi. Kan ada kerajaan Sriwijaya, Pajajaran, dan Majapahit. Mereka kerajaan-kerajaan maju. Kan begitu ceritanya," tutur Dedi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.