Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Murka"-nya Gunung Karangetang dan Kepercayaan Masyarakat soal Tabu yang Dilanggar

Kompas.com - 09/01/2019, 07:32 WIB
Skivo Marcelino Mandey,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Budayawan Jupiter Makasangkil mengatakan, masyarakat ketika itu melakukan ritual tersebut dengan tujuan mengusir bala.

Mebukirang juga dilakukan sebagai bukti ketaatan para penganut kepercayaan itu kepada Ilah yang dipercayai sebagai pengatur kebaikan dan keburukan.

Ritual agama adat itu masih saja ada. Namun, korban penyembahan bukan lagi anak perempuan, melainkan diganti dengan hewan ternak.

“Namun pada prosesnya, penyembahan menggunakan hewan itu juga dilarang pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Karena itu selanjutnya sesembahannya diganti dengan batang pisang,” kata Jupiter.

Baca juga: 5 Fakta di Balik Erupsi Gunung Karangetang di Manado, Radius Aman 3 Km hingga Waspadai Lahar Hujan

Kini yang tersisa dari kepercayaan itu adalah keyakinan bahwa pelanggaran yang dilakukan masyarakat bisa menggagu keseimbangan alam, dampaknya Gunung Karangetang bakal erupsi.

“Jadi ketika terjadi letusan gunung, maka masyarakat akan menganggap telah ada norma sosial yang dilanggar, seperti perbuatan asusila dari masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan,” ujar Jupiter.

Juga dianggap berkah

Reaksi kemarahan alam, berupa bencana alam itu juga tidak selalu berwujud letusan gunung. Namun bisa berupa peristiwa bencana lain seperti puting beliung, banjir dan longsor.

Dulu, para pelaku pelanggaran norma sosial itu akan mendapat hukum adat yang keras melalui pengadilan tua-tua kampung. Bahkan di zaman kerajaan dulu, hukuman ditentukan melalui mahkamah kerajaan.

Hukuman paling berat adalah hukuman mati dengan cara ditenggelamkan ke laut. “Meskipun hukum adat itu seiring berjalannya waktu mengalami pergeseran. Para pelaku hanya di hukum dengan cara diusir ke luar dari Pulau Siau,” kata Jupiter.

Baca juga: Erupsi Gunung Karangetang, BPBD Sitaro Tetapkan Status Siaga Darurat Bencana

Saat ini aturan itu yang masih berlaku. “Pernah seorang pelaku yang berbuat tindakan asusila setelah menjalani hukuman pidana ia tidak diperbolehkan untuk kembali ke kampungnya. Yang bersangkutan harus ke luar dari Pulau Siau, karena mereka meyakini ketika pelaku kembali ke kampung bisa saja akan terjadi bencana lagi,” tutur Jupiter.

Meskipun agama adat itu saat ini sudah tidak lagi ada, namun kepercayaan masyarakat terhadap keselarasan kehidupan sosial dengan alam, dalam hal ini Gunung Karangetang masih ada.

Letusan Gunung Karangetang juga dianggap berkah bagi masyarakat di sana. Material vulkanik yang dimuntahkan kawah Karangetang diyakini sebagai kasalitator penyubur tanaman pala. Siau masih tersohor dengan kualitas pala nomor satu di dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com