Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafiq Basri Assegaff
Pengamat masalah sosial

Pengamat masalah sosial keagamaan, pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta.

Ketika Habib Menyembunyikan Amal

Kompas.com - 31/12/2018, 08:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BILA Anda berkunjung ke Solo pada akhir Desember ini, Anda akan menyaksikan ramainya orang di sekitar jalan Gurawan, Pasar Kliwon.

Berpusat di Masjid Riyadh, yang berada di selatan keraton Solo itu, ribuan orang datang dari berbagai kota, guna menghadiri peringatan wafatnya (khaul) Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, ulama kenamaan asal Hadhramaut, Yaman, yang menulis kitab maulid Nabi SAW berjudul Simtud-Dhirar.

Tak jauh dari situ, dahulu bermukim habib Muhammad bin Abdullah Alaydrus, yang namanya dikenal luas di Solo. Banyak tamu datang ke rumahnya setiap hari, pagi sampai malam.

Mereka selalu dijamu makan minum; tamu dari luar kota sering menginap di kediamannya, seberang RS Kustati, di kota batik itu.

Muhammad Alaydrus sengaja membangun semacam paviliun kecil di bagian depan rumahnya,lengkap dengan kamar mandi, yang khusus diperuntukkan bagi para tetamu yang menginap. Kediamannya berlokasi di Jalan Kapten Mulyadi, seberang agak ke selatan RS Kustati.

Selain dekar Masjid Riyadh itu, sekitar 300 meter ke utara dari rumah Muhammad Alaydrus ada Masjid Assegaf, tempat da’i kondang (dan penyanyi religi) Habib Syech AA dulu belajar mengaji saat ia kecil dipimpin ayahnya (yang menjadi imam di masjid itu), Habib Abdulkadir bin Abdulrahman (AA) Assegaf.

Pada masa-masa seperti sekarang ini rumah Muhammad Alaydrus nyaris tiada pernah kosong dari tamu yang hendak menghadiri acara khaul Habib Ali Al-Habsyi itu.

Baik saat ada khaul atau tidak, biasanya Muhammad Alaydrus sendiri secara rajin melayani para tetamu saat makan siang, makan malam, atau kadang ketika ngopi ‘majlas‘ (duduk-duduk) di sore hari, sambil membaca kitab-kitab agama bersama.

 

Selalu mengenakan sarung, pengusaha kaya dengan belasan anak itu tampil sangat bersahaja. Sehingga sepintas orang yang belum mengenalnya tidak akan menyangka bahwa Muhammad Alaydrus sebenarnya orang kaya.

Tetapi bagi penduduk di kampung Pasar Kliwon Solo itu, nyaris tidak ada yang tidak tahu bahwa pemilik pabrik tekstil itu sangat disegani karena sikapnya yang tawadhu’ (rendah hati).

Suatu ketika seorang miskin, sebutlah namanya Pak De, datang meminta bantuan kepadanya. Saat itu sedang banyak tamu di rumahnya.

Beliau menolak memberi Pak De. Sehingga Pak De uring-uringan, mengumpat Muhammad Alaydrus. Kepada banyak orang ia menjelek-jelekkan Muhammad sebagai “bachil, pelit,” dan berbagai sumpah serapah lain.

Pak De sendiri selama bertahun-tahun mendapat kiriman beras dari seseorang yang tidak pernah mau disebut namanya. Toko penyalur beras juga tidak mau mengatakan siapa sebenarnya yang mengirimkan beras kepada Pak De pada tiap awal bulan.

Suatu hari kiriman beras berhenti. Pak De mendatangi penyalur beras; dia menagih: “Kenapa kok bulan ini tidak ada kiriman lagi?” Penjual beras menjawab, “Karena yang biasa memberi beras kepadamu sudah meninggal dunia sebulan lalu.”

Pak De: “Lho, memang siapa dia? Kenapa kamu gak pernah mau mengatakannya? “

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com