Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keunikan Tajug Gede Cilodong Purwakarta, Jendela Tanpa Kaca hingga 9 Beduk dan 9 Muazin

Kompas.com - 22/12/2018, 01:27 WIB
Farid Assifa

Penulis

PURWAKARTA, KOMPAS.com - Tajug Gede Cilodong, masjid besar yang merupakan ikon baru Purwakarta dan berlokasi di Jalan Raya Bungursari memiliki keunikan dibanding masjid lainnya.

Masjid yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektare itu memiliki arsitektur yang mirip dengan masjid para Wali Songo.

Pada Jumat (21/12/2018), Kompas.com berkesempatan mengunjungi Tajug Gede Cilodong sekaligus melaksanakan shalat jumat perdana di masjid itu. Masjid tersebut berada di tengah lahan puluhan hektare sehingga memiliki halaman yang sangat luas. Dari jauh, Tajug Gede Cilodong tampak megah dengan diapit tiga menara tinggi.

Ketika melihat ke dalam, nuansa tradisional dari masjid itu terasa begitu kental. Tidak ada kaca sama sekali di masjid itu. Semua jendela ditutup ukiran kayu jati motif bunga yang meninggalkan banyak lubang. Jendela-jendela itu sekaligus sebagai ventilasi, sehingga suasana di masjid tetap sejuk meski cuaca di luar sedang panas.

Kendati mengusung konsep Sunda tradisional, namun teknologi modern tetap dipakai di masjid itu. Misalnya, lampu-lampu berbentuk segi empat dipasang di langit-langit masjid dalam jumlah banyak. Di sisi jendela dan pintu juga dipasang lampu dengan desain kap tradisional.

Jadi tempat istirahat

Selain tempat untuk beribadah, Tajug Gede Cilodong juga bisa dipakai untuk tempat beristirahat. Bahkan, bisa pula untuk tidur.

Baca juga: Purwakarta Kini Punya Ikon Baru Tajug Gede Cilodong

Penggagas sekaligus Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Tajug Gede Cilodong, Dedi Mulyadi menyebutkan, masjid yang dibangun pada tahun 2017 itu akan dibiarkan terbuka selama 24 jam. Siapa pun bisa masuk ke masjid itu tanpa harus dicurigai.

"Siapa pun bisa masuk dan tidur di masjid ini tanpa dicurigai. Kami juga tidak khawatir akan kecurian. Jika memang ada pencuri masuk itu berarti kegagalan pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya," kata Dedi.

"Jika ada jemaah yang kehilangan ponsel atau sandal, ya anggap saja itu sebagai sedekah atau zakat," lanjut Dedi lantas tertawa.

Dedi Mulyadi menunjukkan beduk Tajug Gede Cilodong.KOMPAS.com/ DEDI MULYADI Dedi Mulyadi menunjukkan beduk Tajug Gede Cilodong.

Masjid ini juga dilengkapi karpet beludru yang cukup tebal dan empuk. Karpet ini menutupi seluruh lantai dalam masjid. Karpet itu memberi kenyamanan bagi jemaah yang melaksanakan shalat.

Selain itu, di karpet membentang kain merah putih untuk alas sujud. Warna merah putih itu tentu saja merupakan simbol bendera merah putih. Filosofinya adalah bahwa orang tetap menjalankan ibadah kepada Allah Swt tetapi tidak melupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sembilan beduk dan muazin

Keunikan lainnya dari Tajug Gede Cilodong ini adalah jumlah beduk 9 buah. Beduk ini dilengkapi dengan kentung dan ditabuh sebelum azan dimulai.

Sembilan beduk ini ditempatkan berjejer di teras selatan masjid. Beduk terbesar ditempatkan di tengah. Setiap satu beduk ditabuh satu orang yang sebelumnya dilatih terlebih dahulu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com