KOMPAS.com - Tajug Gede Cilodong menjadi ikon baru Kabupaten Purwakarta. Masjid besar ini berdiri di atas tanah seluas 10 hektar. Untuk masjid sendiri, tanah yang digunakan seluas 1 hektar, sedangkan sisanya untuk fasilitas penunjang.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Tajug Gede Cilodong, Dedi Mulyadi kepada Kompas.com mengatakan, Cilodong dipilih menjadi nama masjid sebagai penegas unsur kultur lokal. Dia ingin mengikuti kebiasaan para kiai sepuh Nahdlatul Ulama yang biasa menamai pesantren dengan nama daerah.
“Nama masjid ini tidak meninggalkan identitas. Karena terletak di Cilodong ya sudah namanya Cilodong saja. Kiai memberikan nama untuk pesantrennya kan selalu menggunakan nama daerah. Ada Tebuireng, ada Lirboyo, kalau di Purwakarta ada Cipulus, Cikeris dan lainnya. Ini sesuai dengan khittah para kiai,” kata Dedi, Selasa (18/12/2018).
Dia menjelaskan, bagian dalam masjid dihiasi berbagai ukiran khas Jawa Barat. Bahannya berasal dari kayu jati pilihan yang didatangkan dari Gunung Jati Cirebon.
Alasan Dedi mengambil kayu jati dari Cirebon karena penyebaran Islam pertama kali terjadi di daerah timur Jawa Barat tersebut.
Baca juga: Menengok Masjid Tua Tanpa Kubah dan Menara di Purwakarta
Secara pribadi, Dedi menerima amanah sebagai ketua DKM juga merupakan pengamalan dari amanat Sunan Gunung Jati.
“Kanjeng Syaikh (Sunan Gunung Jati) di akhir hidupnya mengatakan titip tajug dan fakir miskin. Ini terus terang saja menjadi spirit saya. Karena itu, selain untuk kegiatan religi, tajug ini ke depan akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Sisa lahan 9 hektar sebentar lagi dibangun area urban farming dan kawasan agrowisata. Saya kira, ini positif ya,” katanya.
Fasilitas pendukung
Dedi menyebutkan, Tajug Gede Cilodong memiliki dua lantai dan mampu menampung 4.000 jemaah. Ia mengklaim bahwa Tajug Gede Cilodong merupakan masjid terbesar di Purwakarta.
“Lantai satu bisa menampung 2.000 jemaah. Lantai dua juga bisa masuk 2.000 jemaah. Tajug Gede ini menjadi masjid terbesar di Purwakarta,” ujarnya.
Terdapat 9 bedug yang siap menjadi penanda waktu masuk shalat di tajug tersebut. Selain itu, 9 muazin akan mengumandangkan azan jika waktu shalat sudah tiba.
“Kalau di Masjid Cipta Rasa Cirebon kan ada 7. Nah, di Tajug Gede ini ada 9. Angka itu kan angka tertinggi. Saya berangkat dari kosmologi Wali Sembilan atau Wali Songo. Baik, khatib, muadzin dan imam di sini menggunakan pakaian khas Sunda,” ucapnya.
Ikhtiar Dedi sebagai ketua DKM tidak berhenti sampai di situ. Selain mengusahakan kesehatan batin warga, dia juga menginginkan terciptanya kesehatan lahir. Sehingga, fasilitas olahraga akan dibangun di sekitar masjid tersebut.
“Sekaligus asramanya kita bangun juga. Anak-anak yang latihan itu nanti setiap maghrib sampai isya mengaji di sini,” katanya.
Menjadi rest area