Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Warga Gunungkidul Merawat Rumah Joglo Berusia 200 Tahun...

Kompas.com - 29/11/2018, 18:16 WIB
Markus Yuwono,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Rumah adat tradisional di Yogyakarta, saat ini sudah banyak yang tergantikan dengan rumah modern.

Rumah tradisional yang masih bisa ditemui saat ini ada di sekitar wilayah pinggiran.

Salah satunya Rumah Joglo yang berumur sekitar 200 tahun, yang berdiri di Desa Baros Lor, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul.

Ada cara unik digunakan oleh pemiliknya agar keawetan kayu tetap terjaga hingga bertahan ratusan tahun, yakni menggunakan air teh agar kayu kuat dan warnanya tetap bagus.

Pemilik rumah, Suparjono mengaku, rumah miliknya merupakan warisan dari kakek buyut yang dirawatnya hingga kini.

Baca juga: Melongok Rumah Joglo Mbah Kerto Merjo, Saksi Bisu Masa Agresi Militer Belanda

Dengan luas 600 meter persegi, rumah yang sampai saat ini masih ditinggali bersama keluarga ini masuk dalam cagar budaya pada tahun 2002 silam.

"Kalau umurnya sekitar 200-an tahun, karena sejak kakek buyut. Rumah ini sudah diteliti dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya tahun 2002 lalu," kata Suparjono, kepada wartawan, Rabu (28/11/2018) pagi.

Menurut dia, salah satu unsur mengapa rumah tersebut menjadi cagar budaya karena masih mempertahankan unsur bangunan.

Dalam unsur bangunan terdapat 5 bagian yakni kuncung, lintring, pendopo, pringgitan, dan ndalem ageng.

Ruang tamu di Rumah Joglo Usia Ratusan Tahun di Desa Baros Lor, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul, YogyakartaKompas.com/Markus Yuwono Ruang tamu di Rumah Joglo Usia Ratusan Tahun di Desa Baros Lor, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta

Adapun ke lima bagian ini memiliki fungsi tersendiri. Kuncung bagian depan rumah, lintring itu tempat untuk bersantai.

Kemudian, pendopo atau joglo adalah tempat untuk menyambut tamu, pringgitan difungsikan untuk menyimpan wayang, sedangkan ndalem ageng merupakan tempat untuk istirahat.

"Ndalem ageng dibagi menjadi 3 bagian yaitu senthong kiwo (kiri), senthong tengen (kanan), dan senthong tengah. Senthong tengah berisi meja rias, tempat tidur, kasur, bantal, akan tetapi tidak dipergunakan untuk istirahat, karena kepercayaan zaman dulu, senthong tengah digunakan dewi Sri atau dewi kemakmuran untuk berisitirahat," kata dia.

"Jadi, hanya digunakan untuk tidur yang kanan dan kiri," ucap dia.

Saat masuk ke dalam rumah, suasana sejuk terasa, karena sebagian besar atau hampir semuanya terbuat dari kayu.

Selain itu, lantai rumah terbuat dari batu alam. Uniknya, tiangnya dan rusuk rumah tidak dihaluskan menggunakan mesin, sehingga tidak begitu rata saat diraba.

Baca juga: Rumah Joglo Saridin, Jejak Sang Legenda di Kampoeng Djowo Sekatul

Perabot mulai dari lemari hingga lainnya juga masih asli khas zaman dulu.

"Dulu waktu ayah saya bisa dikatakan anti dengan cat, plitur, maupun vernis. Untuk merawatnya, ayah saya membasuh kayu dengan air teh," ucap dia.

Lebih jauh kedalam rumah, di bagian dapur tetap mempertahankan tungku dengan bahan bakar kayu.

Selain itu, penyimpan air menggunakan gentong tanah liat. Untuk menanak nasi menggunakan dandang dari tembaga.

"Semua masih seperti dulu, tak banyak yang dirubah. Semoga anak cucu kelak masih mau mempertahankan," ucap dia.

Dapur Rumah Joglo di Desa Baros Lor, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul YogyakartaKompas.com/Markus Yuwono Dapur Rumah Joglo di Desa Baros Lor, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta

Sulitnya merawat rumah kayu

Suparjono mengaku, tidak mudah dalam merawat Rumah Joglo miliknya. Dia sempat diberikan bantuan pemerintah tahun 2015 lalu.

Meski anggaran yang diberikan cukup besar yakni sekitar Rp 600 juta, namun perawatan diserahkan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui perawatan rumah kayu.

"Pemborong membersihkan dengan sabun colek, sabun cuci, sehingga warna rumah yang di depan rusak. Melihat itu, saat akan melanjutkan perawatan di bagian tengah, saya stop," ujar dia.

Saat ini, dirinya meneruskan perawatan biasa hanya mengelap menggunakan air. Meski tidak menyebut angka, pensiunan ASN ini mengaku biaya yang digunakan untuk merawat rumahnya tergolong tinggi.

Hampir setiap hari misalnya, dia mengganti genteng yang pecah karena tertimpa buah dari pohon yang ada di sekitar rumahnya.

Baca juga: AC Lion Air Mati, Penumpang Tujuan Yogyakarta Diturunkan dari Pesawat

"Ke depan semoga masih ada yang mau melestarikan rumah seperti ini, sehingga tidak kehilangan identitasnya," kata dia.

Sementara staf Bidang Pelestarian Warisan dan Budaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul, Hadi menyatakan, pihaknya tengah menyusun program bantuan kepada rumah cagar budaya.

Saat ini, tengah digagas petunjuk teknis (juknis) agar tidak saling tumpang tindih antara aturan pusat, provinsi, maupun kabupaten.

"Jadi, Rumah Joglo memiliki nilai yang tinggi dan banyak yang tidak terawat. Jika mendapatkan dana perawatan dan dapat diperbaharui dan menaikkan nilai, takutnya setelah nilai tinggi Joglo dijual. Itu termasuk memperkaya diri sendiri," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com