Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Generasi Muda dan Gerakan Peduli Perubahan Iklim

Kompas.com - 28/11/2018, 15:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GENERASI muda selalu dihadapkan pada tantangan berbeda di setiap zaman. Saat ini, salah satu tantangan yang sedang dihadapi adalah dampak perubahan iklim.

Hal ini terkonfirmasi dari hasil The Global Shapers Survey (2017) di mana generasi muda di 186 negara menganggap dampak perubahan iklim menjadi ancaman dunia saat ini.
Dampak perubahan iklim dapat dilihat dari dua hal, kenaikan muka air laut yang drastis dan perubahan suhu yang ekstrem.

Kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim merekam kenaikan suhu di beberapa wilayah dalam 25 tahun terakhir, diantaranya terjadi di kota Tarakan sebesar 0,63 derajat Celsius, Malang Raya sebanyak 0,69 derajat Celsius, dan Provinsi Sumatera Selatan sebesar 0,67 derajat Celsius.

Sementara kenaikan muka air laut didokumentasikan oleh Simple Ocean Data Assimilation (SODA). Sejak 1993, kenaikan muka air laut rata-rata 7 mm per tahun, sebelumnya hanya 1,6 mm per tahun.

Di Indonesia, belum banyak generasi muda yang mengampanyekan ancaman dampak perubahan iklim, tidak juga di Kota Pekalongan. Padahal, 30 persen wilayah kotanya atau 9 dari 27 kelurahan dibanjiri air rob tahunan.

Butuh kolaborasi

Baru-baru ini, pidato Presiden Joko Widodo di hadapan perwakilan 188 negara anggota Bank Dunia, di Bali, menyatakan komitmennya untuk memprioritaskan penanganan terhadap isu perubahan iklim.

Komitmen Presiden menjadi harapan bagi daerah, salah satunya Kota Pekalongan. Karena, selama ini sedikitnya dua kendala serius harus dihadapi pemerintah daerah, salah satunya terkait anggaran.

Sebagai perbandingan, pembangunan tanggul raksasa yang sedang dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana (BBWS) membutuhkan dana lebih dari Rp 100 miliar.

Adapun APBD Kota Pekalongan tahun 2017 hanya sekitar 800 miliar, di mana separuhnya sudah terserap untuk biaya operasional pegawai.

Pun di sektor adaptasi, struktur anggaran di APBD Kota belum secara khusus mengalokasikan bagi warga terdampak, kendati sudah terjadi bertahun-tahun.

Pada sisi kesehatan, misalnya, dibutuhkan pencegahan penyakit yang dibawa oleh serangga dan nyamuk, di antaranya vaksinasi, imunisasi dan penyemprotan. Belum lagi di isu lain seperti pendidikan, ekonomi dan sosial lainnya.

Kewenangan yang terbatas menjadi kendala selanjutnya. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah mengamanatkan kewenangan tata kelola sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai (DAS) merupakan kewenangan provinsi.

Padahal, dua area tata kelola tersebut menjadi pintu masuk banjir rob yang saat ini menggenangi rumah warga dan dibutuhkan upaya cepat untuk menanggulangi permasalahan di sekitarnya.

Sungai Bremi, misalnya, diduga menjadi pintu masuk air rob ke wilayah sekitarnya, seperti Pabean dan Kramat Sari, padahal letak wilayah tersebut sekitar 3 km dari pesisir pantai.

Dua wilayah tersebut lokasinya sangat strategis, dekat dengan stasiun kereta dan jalur Pantura sehingga penduduknya cukup padat.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com