Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Weri Mata Nii, Tradisi Tanam Padi Suku Gunung di Flores Barat

Kompas.com - 26/11/2018, 11:01 WIB
Markus Makur,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BORONG, KOMPAS.com - Warisan leluhur Suku Gunung dan suku-suku lain di kawasan selatan dari Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh penerusnya adalah tradisi Weri Mata Nii.

Weri artinya tanam, mata nii artinya benih padi. Jadi weri mata nii adalah menanam benih padi di lahan kering atau ladang di tanah ulayat Suku Gunung dan Kenge.

Weri Mata Nii adalah warisan nenek moyang Suku Gunung dan suku-suku lainnya saat menanam benih padi di lahan-lahan kering atau ladang di kalender tanam petani di bagian selatan dari Manggarai Timur maupun di seluruh kampung di wilayah Manggarai Timur.

Sebelum kaum perempuan dan laki-laki menanam benih padi (woja) di lahan kering atau ladang yang sudah dibersihkan, terlebih dahulu tua adat di Suku Gunung dan suku-suku lainnya melaksanakan ritual adat di sudut lahan.

Ayam dan babi sebagai bahan sesajian untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta Alam semesta, leluhur dan alam itu sendiri.

Sabtu (24/11/2018), ritual adat Weri Mata Nii dilaksanakan di lahan kering atau ladang milik, Gaspar Taulero di ladang Mondo, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pagi itu, Ketua Dor (Tua adat pembagi lahan ulayat) di Suku Gunung, Stanislaus Jalang sudah dipercayakan oleh pemilik ulayat di kawasan Mondo, Lodok lingko Rumpit dan lain sebagainya untuk melakukan ritual adat Weri Mata Nii.

Baca juga: Fakta Gempa Guncang Mamasa, Ribuan Warga Mengungsi hingga Ritual Tolak Bala

Sebelum dilaksanakan ritual adat, terlebih dahulu, seorang pemuda memegang seekor ayam dan memberkati benih-benih yang sudah dikumpulkan di sekitar tiang kayu teno (pohon adat) dengan cara memutar di atas benih tersebut. Selanjutnya pemuda itu menyerahkan seekor ayam itu kepada Ketua Dor, Stanislaus Jalang untuk melangsungkan ritual adat.

Ritual pada ayam dan sopi

Sebagaimana aturan adat yang tidak tertulis, sebelum dilaksanakan ritual adat terlebih dahulu Ketua Dor, Jalang meminta restu dari anak Ranar (pemberi perempuan dalam sistem perkawinan adat istiadat orang Manggarai Timur). Lalu anak Ranar memberikan restu untuk melanjutkan ritual adat tersebut. Kemudian ketua Dor meminta restu dari pemilik lahan dan dari seluruh warga yang hadir dalam ritual tersebut.

Setelah mendapat persetujuan dari pemilik lahan dan warga yang hadir, selanjutnya, ketua Dor menuangkan air tuak atau sopi lokal dari botol ke gelas mok (gelas berbahan alumium).

Sejumlah warga sedang melaksanakan tradisi tapa Kolo atau bakar nasi bambu saat ritual adat Weri Mata Nii di lahan kering Mondo, Desa Gunung, Kec. Kota Komba, Kab. Manggarai Timur, Flores, NTT, Sabtu (24/11/2018).KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Sejumlah warga sedang melaksanakan tradisi tapa Kolo atau bakar nasi bambu saat ritual adat Weri Mata Nii di lahan kering Mondo, Desa Gunung, Kec. Kota Komba, Kab. Manggarai Timur, Flores, NTT, Sabtu (24/11/2018).

Dari gelas mok itu, sebagian air tuak atau sopi itu dituangkan ke tanah sebagai tanda meminta restu dari alam semesta dan leluhur.

Ritual selanjutnya, Ketua Dor, Jalang memegang seekor ayam dan melaksanakan ritual adat Weri Mata Nii dengan mengucapkan bahasa-bahasa adat (goet-goet bahasa kolor) yang intinya meminta restu kepada Sang Pemilik alam semesta, leluhur dan alam itu sendiri.

Permintaannya adalah memohon berkat benih padi yang siap ditanam, mohon keberhasilan dan bebas dari hama di ladang dan bebas dari ancaman binatang liar.

Darah ayam diteteskan pada benih padi

Seorang pemuda di Suku Gunung yang sudah dipercayakan tetua adat menyembelih ayam di sekitar kayu teno (pohon teno) meneteskan darah ayam di benih padi (Mata Nii) yang sudah dikumpulkan dan siap ditanam. Lalu seorang pemuda lain menyembelih seekor babi adat di sekitarnya.

Ketua Dor Suku Gunung, Stanislaus Jalang kepada Kompas.com, Sabtu (24/11/2018), menjelaskan, warisan leluhur ini harus terus dilaksanakan sebelum padi ditanam di lahan-lahan yang sudah dibersihkan. Jika ritual ini tidak dilaksanakan, maka pemilik lahan dilarang menanam padi dan tanaman lainnya.

“Ini warisan yang tidak boleh dilanggar oleh generasi penerus dari leluhur Suku Gunung dan suku-suku lainnya di Manggarai Timur. Ritual ini harus dilaksanakan sebelum menanam padi, jagung dan lain sebagainya. Penerus di Suku Gunung terus mempertahankan dan melaksanakan ritual ini. Jika tidak dilaksanakan, maka ada teguran dari leluhur berupa padi, jagung yang di tanam akan gagal,” jelasnya.

Kaum perempuan dan laki-laki sedang membagi benih padi untuk di tanam sesudah ritual adat Weri Mata Nii dilaksanakan oleh tetua adat setempat, Sabtu (24/11/2018).KOMPAS.com/MARKUS MAKUR Kaum perempuan dan laki-laki sedang membagi benih padi untuk di tanam sesudah ritual adat Weri Mata Nii dilaksanakan oleh tetua adat setempat, Sabtu (24/11/2018).

Tokoh Muda Manggarai Timur, Petrus Yohanes Elmiance kepada Kompas.com, Sabtu (24/11/2018), menjelaskan, dirinya selalu hadir dalam berbagai ritual adat di wilayah selatan Manggarai Timur untuk memahami dan mengerti tentang warisan budaya. Terutama ritual Weri Mata Nii, ritual Ndetok atau Basang Nii, ritual kolo kabe, ritual karong woja wole dan lain sebagainya.


“Saya sebagai orang muda harus memahami dan mengerti ritual adat untuk diteruskan di kemudian hari dan di masa akan datang. Warisan leluhur harus dipertahankan dan dilestarikan. Dan tugas dari generasi muda yang akan melanjutkan ritual-ritual tersebut,” jelasnya.

Baca juga: ”Messalu Lembang”, Ritual Menolak Gempa Ala Leluhur Mamasa

Dosen Sosiologi Universitas Cendana Kupang, Lasarus Jehamat kepada Kompas.com, Minggu (25/11/2018), menjelaskan, dirinya sangat mengkhawatirkan masa depan ritual-ritual adat di Manggarai Timur yang akan semakin langka.

Kekhawatiran itu, ketika masyarakat tidak lagi membuka lahan kering untuk pertanian, nyaris tradisi yang berkaitan dengan alam hilang di Manggarai Timur tengah dan kawasan manus serta sekitarnya.

Sawah adalah proyek pembangunan dari luar. Sebab, sawah tidak memiliki kekhasan dalam adat dan tradisi. Beda dengan lahan kering atau ladang. Itulah alasan, masyarakat seperti kita hanya bisa menangisi hampir semua tradisi yang pelan-pelan hilang.

“Tesis saya, ketika ladang di tanah kering hilang, saat itu pula beragam tradisi akan turut hilang pula. Yang bisa dilakukan ialah mempertahankan satu dua lahan agar bisa dipakai untuk menanam. Kasus tumpang tindih peran Tua Golo (tua adat kampung) dan Tua Teno (tua adat pembagi lahan) di beberapa kampung di Manggarai Timur, saya kira salah satunya disebabkan karena ketiadaan pertanian lahan kering atau uma ladang,” jelasnya.

Jehamat menjelaskan, lahan sawah tidak dilarang. Namun, kata dia, ketika lahan pertanian ladang hilang, apakah dijamin bahwa tradisi tetap eksis?

"Ini soal utamanya. Pertanian basah (sawah) datang dari luar, adat hanya bisa disesuaikan dan bila perlu tidak usah dilakukan lagi," katanya.

Hal ini Ini sangat berbeda dengan pertanian lahan kering yang bersentuhan dengan ritual adat yang diwariskan leluhur di Nusa Tenggara Timur. Mungkin dianjurkan bahwa apabila lahan sawah terus diperluas, maka ada waktunya untuk menanam tanaman selain padi dan saat itu dilangsungkan ritual adat.

"Jikalau itu tidak dipikirkan maka perlahan-lahan ritual adat akan punah," katanya.

Jehamat menambahkan, budaya masyarakat Manggarai Raya umumnya dan Manggarai Timur khususnya berbasis lahan kering, lereng, gunung serta bukit.

"Kita tidak pernah berhubungan dengan lahan sawah. Bahwa sawah itu baik, tidak ada yang bisa membantah. Hanya, ketika budaya lahan kering diabaikan, budaya lain yang tercakup di dalamnya hilang seketika," katanya.

Dia mengimbau pemerintah untuk mengurangi pembukaan sawah di tanah yang telah diperuntukkan untuk lahan kering.

Kaum perempuan dan laki-laki secara gotong royong menanam benih padi sesudah ritual adat Weri Mata Nii dilaksanakan oleh tetua adat setempat, Sabtu (24/11/2018). (KOMPAS.com/Markus Makur)KOMPAS.com/ MARKUS MAKUR Kaum perempuan dan laki-laki secara gotong royong menanam benih padi sesudah ritual adat Weri Mata Nii dilaksanakan oleh tetua adat setempat, Sabtu (24/11/2018). (KOMPAS.com/Markus Makur)

Jehamat juga mengajukan dua masukan terkait pertanian. Pertama, perlu adaptasi budaya. Maksudnya, menjadikan lahan sawah sebagai lahan kering sehingga upacara adat bisa dilakukan dalam konteks budaya lahan basah.

Pelaksanaannya tetap setahun sekali, Januari-April. Kalau kondisi bulan-bulan itu masih hujan, pelaksanaannya dilakukan pada Juni hingga September.

Baca juga: Pendakian Lawu Ditutup, Ritual Suro Tetap dapat Dilakukan

Masukan kedua adalah perlu ada kebijakan hukum berbentuk peraturan daerah atau peraturan desa untuk menjaga adat dan merawat budaya lokal terkait lahan kering.

“Saya amati bahwa petani lokal di Manggarai Raya memiliki kalender tanam di lahan kering dalam setahun. Petani lokal tidak mengikuti kalender nasional saat menanam berbagai jenis tanaman di lahan kering. Petani lokal hanya mengikuti kalender tanam nasional di lahan sawah. Pemerintah lokal harus merawat dan mempertahankan warisan leluhur dalam kalender tanam petani lokal,” jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com