Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Weleng Wulang, Tradisi Suku-suku di NTT Sambut Gerhana Bulan yang Mulai Langka

Kompas.com - 23/11/2018, 12:23 WIB
Markus Makur,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

LABUAN BAJO, KOMPAS.com — Masyarakat di berbagai belahan dunia mempiliki tradisi tersendiri menyambut gerhana bulan, termasuk masyarakat suku Besi yang tinggal di Beo Wajur, Desa Wajur, Kolang, Kecamatan Kuwus Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Hingga tahun 1980-an, suku Besi yang memiliki bahasa Manggarai dengan dialek Kolang ini menyebut gerhana bulan dengan sebutan Weleng Wulang. Hingga tahun tersebut, Bahasa Indonesia belum lazim dipakai oleh masyarakat. 

Tradisi Weleng Wulang ini merupakan tradisi masyarakat suku Besi untuk menyambut gerhana bulan dengan penuh kegembiraan. Mereka akan melakukan ritual adat dan melaksanakan tradisi menabuh gendang dan gong di rumah adat kampung setempat. 

Saat menabuh gendang dan gong, semua anggota suku berkumpul dan dimpimpin oleh sang kepala suku. 

Baca juga: Melihat Tradisi Weh-wehan untuk Menyambut Maulid Nabi Muhammad

Menurut kepercayaan leluhur Suku Besi dan suku-suku lain di kawasan Kolang, “weleng wulang” atau gerhana bulan tidak membawa bahaya bagi warga kampung melainkan memberikan tanda-tanda rezeki dalam kehidupan masyarakat.

Weleng Wulang juga dipercaya membawa tanda-tanda kebaikan dan keberhasilan dalam usaha dan mengolah lahan pertanian.

Wujud dari tanda-tanda alam itu disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh warga suku di kawasan Kolang dengan melantunkan nyanyian (mbata) sambil menabuh gendang dan memukul gong adat.

“Dulu nenek moyang dan orangtua-orangtua kami menyambut Weleng Wulang dengan penuh kegembiraan dan ceria karena tanda-tanda itu membawa berkah bagi hidup keluarga di masa akan datang,” jelas Theodorus Madur, pensiunan guru SD yang juga pemuka adat di Beo Wajur, kepada Kompas.com, Senin (19/11/2018).

Baca juga: Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (1)

Semakin langka

Theodorus Madur yang didampingi saudaranya, Benediktus Nehe dan Nobertus Manggut menjelaskan, dalam bahasa Manggarai dialek Kolang, Weleng artinya kehilangan arah jalan sedang Wulang artinya bulan.

Jadi Weleng Wulang bisa diartikan secara harafiah dalam bahasa Indonesianya, bulan yang sedang kehilangan arah jalan cahayanya. 

“Leluhur Suku Besi dan orang di kawasan Kolang memiliki kearifan bahasa lokal untuk menyebut hal-hal yang bisa dilihat oleh mata dengan memberikan nama dalam bahasa lokal setempat,” jelas mereka.

Namun kini, karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan global memberikan dampak terhadap tradisi-tradisi Suku Besi, khususnya di Ilmu pengetahuan bumi.

“Saat ini kami sebagai orangtua tidak pernah lagi melihat dan merasakan menabuh gendang dan memukul gong saat terjadi “Weleng Wulang” atau gerhana bulan. Dan kami juga tidak pernah melaksanakannya karena terpengaruh dengan perkembangan-perkembangan modern,” jelas Madur.

Baca juga: Tradisi Ghan Woja Suku Saghe di Flores Barat

Tidak hanya di desa Beo Wajur saja kearifan lokal Weleng Wulang mulai punah. Di desa tetangganya, yakni di Kampung Nunur, Desa Mbengan, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, tradisi menabuh gong dan gendang saat gerhana bulan juga mulai luntur. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com