Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita tentang Sosa dan Sampat, Alat Tangkap Tradisional Warga Manggarai Raya...

Kompas.com - 23/11/2018, 11:20 WIB
Markus Makur,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


BORONG, KOMPAS.com - Masyarakat di Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat, di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, memiliki warisan leluhur yang tidak tergerus oleh perkembangan teknologi di bidang perikanan dan kelautan.

Masyarakat itu bermukim di kawasan pegunungan dan lembah yang diapit oleh berbagai sungai besar dan kecil.

Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) besar dan kecil, hidup berbagai jenis biota khas air tawar. Biota khas air tawar itu seperti ikan, udang, katak, ipung, kepiting, belut, dan lain sebagainya yang bisa dimakan.

Tanpa dilatih secara khusus, para leluhur orang Manggarai Raya memiliki keterampilan alamiah. Manggarai Raya merupakan sebutan untuk tiga wilayah Manggarai tersebut.

Kearifan-kearifan lokal yang dilakukan oleh para leluhur orang Manggarai Raya selalu bersentuhan dengan alam semesta.

Baca juga: Puting Beliung Terjang Manggarai Barat, 4 Warga Terluka

Untuk menangkap biota air tawar untuk dihidangkan bagi anggota keluarga, para leluhur memiliki keterampilan atau talenta alamiah.

Selain ditangkap dengan tangan, serta dengan tradisi bunde atau menangkap biota secara massal dengan memakai lipa atau kain tetoron, juga secara individu dapat menangkap biota tersebut.

Alat tangkap tradisional di masing-masing suku di kawasan Manggarai Raya memiliki nama berbeda-beda sesuai dengan bahasa ibu di masing-masing suku tersebut.

Semua alat tradisional itu berbahan bambu yang tumbuh liar di alam. Pohon bambu yang digunakan untuk alat tangkap ramah lingkungan.

Orang di kawasan Rongga di Manggarai Timur, menyebut alat tangkap tradisional berbahan bambu sebagai sosa, sedangkan orang di kawasan Kolang di Manggarai Barat, menyebutnya sampat.

Ahli Waris Tradisi Kebhu Suku Lowa di Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Donatus Jimung memaparkan, sosa sebagai alat tangkap adat hanya biasa digunakan saat ritual kebhu di Muara Empu Lea dan Amu di kawasan Nangarawa.

Sosa ini tidak sembarang dipakai karena ini sosa adat. Sosa ini digunakan lima tahun sekali saat berlangsungnya ritual kebhu.

Sosa ini juga digunakan warga di kawasan Rongga selain Suku Lowa saat menangkap biota air tawar di sungai di sekitar kawasan Rongga.

“Saya berterima kasih kepada leluhur Suku Lowa yang memiliki warisan yang ramah lingkungan saat menangkap biota di air tawar. Keluarga kami terus menjaga dan melestarikannya dengan baik," kata Jimung, kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.

Menurut keyakinan masyarakat, sosa yang sudah lapuk atau usianya sudah tua akan dibuang di sekitar rumah untuk menyuburkan tanah. 

 

"Apabila sudah usia tua dan lapuk, maka seorang anggota keluarga menganyam yang baru berbahan bambu halus. Setiap ritual kebhu dilaksanakan, sosa harus dibawa untuk menangkap ikan dan biota lainnya di kolam Empu Lea dan Amu di Muara Nangarawa,” tambah dia.

Baca juga: Rasa dan Aroma Kopi Manggarai Memikat Dosen Binus Jakarta

Zaman dulu, pohon bambu yang tumbuh di liar sekitar DAS di lereng bukit maupun kawasan lembah, juga dapat difungsikan untuk pembangunan rumah adat, menahan erosi, pembangunan rumah setiap warga sebelum mengenal pohon kayu dan seng.

Rumah yang terbuat dari bambu di dalamnya sangat sejuk. Selain itu, pohon bambu halus, orang lokal menyebutnya bambu ghelung, yang biasa digunakan untuk alat tiup seruling, bisa dianyam untuk membuat berbagai anyaman khas orang Manggarai Raya.

Alat tangkap multifungsi

Pensiunan guru sebuah sekolah menengah pertama di Manggarai Timur, Yoseph Geong mengatakan, sosa merupakan alat tangkap multifungsi.

Sebab, alat ini juga sebagai tempat ayam bertelur. Mengapa tempat ayam bertelur, karena alat ini berbentuk vertikal dan bulat lonjong.

Bagian bawahnya kerucut sedangkan bagian atas bulat besar. Ini dapat melindungi telur dari gangguan binatang yang hendak mangsa.

Sosa ini biasanya digantung di sudut rumah di bagian dapur. Sayangnya, Geong mengungkapkan, minat warga untuk menganyam sosa saat ini mulai berkurang.

“Tak terbiasa menganyam sosa menjadi sebuah kekhawatiran bagi kearifan lokal yang ramah lingkungan di wilayah Manggarai Raya di masa depan. Saya berharap, generasi muda harus membangkitkan kembali kearifan lokal yang bersentuhan dengan ramah lingkungan,” ujar dia, Jumat (23/11/2018).

Terpisah, Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Manggarai Barat, Yuvensius Aquino Kurniawan dan pemerhati budaya di kawasan Kolang, Valentinus Daje mengatakan, untuk alat tangkap sampat digunakan oleh masyarakat agraria yang tinggal di sekitar kawasan Wae Impor.

Warga di kawasan Kolang masih menganyam sampat yang berbahan bambu untuk digunakan sebagai alat tangkap tradisional di saat musim menangkap biota air tawar di Sungai Wae Impor. Biasanya Juni-Agustus, saat musim kemarau, warga pergi wonok (menangkap biota air tawar) di Sungai Wae Impor dengan ramai-ramai,” ujar keduanya.

Daje dan Kurniawan mengatakan, alat tangkap ini tidak mengganggu ekosistem di sungai. Hasil tangkapannya sangat selektif yakni udang dan belut yang besar.

Kalau yang kecil biasa keluar dari sampat karena sudah didesain sedemikian rupa, sengaja dibuat celah agar biota kecil bisa keluar lagi.

Cara memasang sampat berlawanan dengan arus air agar target tangkapannya tidak bisa keluar lagi kalau sudah masuk kedalam.

Baca juga: Mengenal Kopi Arabika Yellow Caturra dan Arabika Juria asal Manggarai NTT

Tokoh adat Suku Besi di Desa Wajur, Kolang, Kecamatan Kuwus Barat, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Benediktus Nehe mengatakan, sampat selalu digunakan warga di Desa Wajur di zaman dulu untuk menangkap biota air tawar di Sungai Wae Hawe, Wae Kebang, Wae Nding, Wae Donggang dan lain sebagainya.

Dia mengaku dirinya dahulu adalah perajin pembuat sampat, duku (nyiru), potang manuk (sangkar ayam). Tapi, kini sudah usia tua sehingga tidak lagi membuat alat-alat tradisional tersebut.

“Dulu saya bersama kakak saya, Nikolaus Dahu (almarhum), adik Nobertus Manggut biasa memasang sampat di beberapa daerah aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Namun, kini generasi penerus di Suku Besi tidak biasa lagi memasang sampat di sejumlah daerah aliran sungai di sekitar Desa Wajur,” ujar dia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com