Di buku itu, Lefaan dan Lelapary juga menjelaskan, “Ko, on, kno mi mbi du Qpona” atau yang dikenal satu tungku tiga batu mengandung arti yang sama, tiga posisi penting dalam kekerabatan etnis Mbaham Matta Wuh.
“Ko, on, kno mi mbi du Qpona” atau satu tungku tiga batu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak.
Baca juga: Masjid Menara Kudus, Saksi Hidup Toleransi dari Masa ke Masa (1)
Jika satu dari kaki rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat.
Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Ketiga batu yang sama kuat itu, dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi kesatuan yang seimbang.
Abbas Bahambah (61), budayawan Fakfak kepada Kompas.com menjelaskan, pada zaman dahulu, orang Mbaham Matta Wuh memasak di atas tungku unik yang terdiri dari tiga batu besar yang berukuran sama lalu disusun dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama sehingga bisa menopang kuali untuk memasak.
“Batunya harus kuat, kokoh dan tahan panas serta tidak mudah pecah. Kayu bakar diletakkan di sela-sela batu untuk memasak. Lalu kuali diletakkan di atasnya untuk memasak. Harus imbang, tidak boleh timpang. Kalau tidak, kuali akan jatuh dan pecah. Itulah simbol. Satu tungku tiga batu itu kemudian menjadi pegangan hidup masyarakat Fakfak. Dulu hanya diwariskan secara turun temurun di keluarga baru sekitar tahun 1990-an dirumuskan secara resmi oleh pemerintah kabupaten,” jelas Abbas.
Abbas menjelaskan, sejak lama Fakfak dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, salah satunya adalah pala. Hal tersebut yang membuat banyak pedagang yang singgah ke Fakfak, termasuk pedagang dari Tidore dan Ternate yang memeluk agama Islam untuk berniaga.
Toleransi tinggi
Nama Fakfak diyakini berasal dari kata pakpak yaang berarti tumpukan batu berlapis yang banyak ditemui di sekitar wilayah pelabuhan. Fakfak kemudian menjadi identifikasi diri warga asli yang bermukim sejak masa nenek moyang yang ditandai dengan nama marga sebagai identitas dan digunakan hingga saat ini.
Lalu mereka disebut "anak negeri" untuk membedakan dengan pendatang dari luar wilayah Fakfak, baik dari dalam maupun luar Papua. Perniagaan dengan Tidore dan Ternate yang kuat menjadi salah satu alasan Islam berkembang pesat di wilayah Fakfak.