MAGELANG, KOMPAS.com - Kelompok pemuda karang taruna Rukun Agawe Santosa (RAS) menaikkan panggung di pinggir jalan dekat persimpangan jalan di tugu pahlawan Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Panggung itu setinggi 1 meter dan cukup lebar untuk menampung puluhan orang. Sebanyak 30 penari, penyanyi, maupun pemain musik menunjukkan musikalisasi di atas maupun bawah panggung.
Kesenian ini dinamai Sabdo Utomo yang asli asal Mertoyudan. Alat musik rebana dan kendang mengiringi orang bernyanyi sambil menari pakai kipas namun dengan syair lagu yang diambil dari ajaran dalam Al Quran. Yang menarik perhatian, mereka sambil mengenakan busana seperti pelaut 'putih-putih'.
"Ini kesenian yang berisi nasihat dan petuah tentang hal-hal baik. Ini merupakan syiar Islam," kata Wahono, Ketua Pemuda RAS, Minggu (18/11/2018).
Baca juga: Borobudur Marathon 2018, Uang Para Pelari untuk Warga Lokal
Sabdo Utomo sempat hilang lama. Warga kembali menghidupkan karya seorang ulama kebanggaan warga itu beberapa bulan belakangan. Kesenian ini puka yang kemudian menjadi andalan warga Deyangan menyambut para pelari Borobudur Marathon 2018.
Sebanyak 10.000 pelari ambil bagian dalam lomba lari jarak jauh ini. Mereka datang dari 30 negara dan pelari asal 20 kota besar di Indonesia.
Seperti diketahui, para peserta Borobudur Marathon bertanding dalam 3 nomor lomba, yakni maraton (42 kilometer), half marathon (21,5km) dan 10K (10 kilometer).
Mereka melintasi 19 desa dari 4 kecamatan yang ada di sekeliling Borobudur. Sebanyak 70 persen pelari kali in mendominasi nomor marathon dan half marathon.
Baca juga: Kisah Kristine, Hamil 8 Bulan Menaklukkan 10K Borobudur Marathon 2018
Hampir semua desa yang dilintasi menampilkan kesenian mereka. Mereka menggelarnya di jalanan desa ataupun di pinggir jalan besar kota.
Ada yang menonjolkan jathilan, musik angklung, bahkan Tari Topeng Ireng khas Magelang. Sabdo Utomo terlihat menonjol karena mereka tidak tanggung-tanggung dengan membangun panggung hiburan.
Hingga pelari terakhir
Sabdo Utomo cukup berbeda. Penampilan mereka tidak sembarangan. Mereka mengemas dengan serius. Mereka pakai baju seperti angkatan laut 'putih-putih'. Mereka menari dengan langkah seperti pocho-pocho. Mereka menari sambil melantunkan syair syiar.
Energi mereka dalam memberi hiburan juga besar. Mereka juga tidak berhenti sampai pelari half marathon terakhir melintas di hadapan para penari. "Biasanya hanya digelar untuk hajatan dan nikah, ulang tahun, khitanan, dan banyak lagi," kata Wahono.
Baca juga: Para Pelari Kenya Rajai Kategori Half Marathon dan 10K Borobudur Marathon 2018
Pelari cukup senang menemui hal baru ini. Banyak pelari half marathon berhenti hanya untuk selfie di tengah para penari.
"Mereka ramah-ramah. Kami bangga dilihat banyak tamu, apalagi internasional. Kami seperti diangkat (dihargai sekali)," katanya.
Para pemuda Deyangan itu merasa tidak sia-sia berada di sana. Mereka juga tidak mempermasalahkan biaya atraksi yang seharusnya cukup besar mengeluarkan dana.
Menurut Wahono dalam sekali hajatan mereka bisa ditanggap (istilah jawa diundang untuk menghibur) bisa sebesar Rp 1,5 juta sekali pentas.
Dalam menghibur para pelari, mereka membiayai secara swadaya dan juga mendapat bantuan dari pemerintah desa.
"(Karena) kami cukup bangga dengan adanya Bodobudur. Warga jadi lebih banyak kegiatan," kata Wahono.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.