Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (3)

Kompas.com - 16/11/2018, 13:58 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com - Tradisi tawurji merupakan tradisi sedekah, namun konteksnya terlupakan. 

Raden Ahmad Opan Safari Hasyim, sejarawan Cirebon yang ahli dalam bidang Filologi menjelaskan, bahwa tradisi tawurji tercatat di dalam manuskrip buku Negara Kerta Bumi Sarga Satu Parwa karya Pangeran Wangsakerta.

Tawurji berasal dari peristiwa Syekh Siti Jenar pada kisaran tahun 1479 – 1568 masehi saat pemerintahan Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah.

Orang-orang daerah Pengging di sekitar Solo - Klaten datang ke Cirebon untuk meminta agar jenazah Siti Jenar digali dan dibawa ke Pengging.

Sunan Gunung Jati yang mendengar kabar itu langsung memerintahkan pasukan intelejen untuk memindahkan jenazah Siti Jenar ke Komplek Pemakaman Giri Amparan Jati, Gunung Jati Cirebon dekat makam Syekh Nurjati. Jasad Siti Jenar di makam yang pertama kemudian diganti seekor anjing berwarna hitam.

Baca juga: Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (1) 

“Paginya ketika orang-orang pengging tiba di Cirebon, sunan gunung jati mempersilakan mereka untuk menggali makam. Mereka kaget , kok berisi anjing. Sunan gunung jati langsung berkata: Hayata sira pada mamuja reking wangke, anata kang pinuja mung hiyang widi-- (Apakah kamu semua hanya memuja bangkai, bukankah yang wajib dipuja hanya Tuhan Yang Maha Esa),” jelas pria yang akrab disapa Opan.

Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang mengampu mata kuliah Filologi dan Budaya Cirebon kembali menjelaskan, Sunan Gunung Jati bersama Sunan Kalijaga mengasingkan dan membimbing mereka ke suatu tempat untuk disucikan kembali atau disunyikan, yang kini menjadi nama daerah Cirebon: Kesunean.

“Keduanya membimbing mereka, dan memberi tempat tinggal sambil mengurus ternak milik keraton. Setiap satu tahun sekali, mereka dibolehkan meminta sedekah kepada orang-orang mampu di wilayah Cirebon. Waktunya di antara bulan suro dan safar, yang memiliki banyak peristiwa bala, sehingga lahirlah tradisi tawurji. Tawur sang aji, bukan kaji, aji itu yang mulia,” jelas Opan saat ditemui kompas.com di Fakultas Ushuludin Adab Dakwah IAIN Cirebon, Kamis (8/11/2018).

Baca juga: Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (2) 

Kenapa mesti tawur (menabur) atau surak uang receh? Opan berpendapat, surak atau tawur adalah bentuk kemasannya yang menggunakan bahasa sederhana yang disampaikan peminta kepada pemberi, eufimisme atau pelembutan makna. Itulah tradisi yang memiliki banyak konteks, banyak pesan, tapi perlahan dilupakan banyak orang.

Akbarudin Sucipto, salah satu pengamat budaya Cirebon menyampaikan, pemerintah Indonesia dapat meniru strategi yang dilakukan pemerintahan Sunan Gunung Jati dari tradisi tawurji.

Sunan Gunung Jati tidak menghukum para pengikut Siti Jenar yang dinilai menyimpang, justru “disucikan” dan diberdayakan secara emosional dan spiritual. Begitupun yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada mereka yang dinilai tidak telah menyimpang dan tidak mendapatkan tempat.

“Pada konteks sekarang, di luar negeri sana, mungkin, orang-orang Pengging itu dihukum karena dinilai sesat. Tapi kalau Cirebon, justru diberdayakan, dijernihkan kembali. Pemerintah dulu termasuk Mbah Kuwu (kepala desa) Cirebon, justru memanusiakan orang-orang siti jenar, dan memberdayakannya,” kata pria yang juga menjabat dosen IAIN Cirebon itu.

Baca juga: “Tradisi Tawurji” Ngalap Berkah dan Mempertahankan Kearifan Lokal

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com