Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (1)

Kompas.com - 16/11/2018, 13:40 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com – Agung Rochani, ibu rumah tangga asal kelurahan Pekalipan, Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon, tampak lelah. Nafasnya tersengal. Peluhnya membasahi sebagian permukaan wajah.

Dia baru saja berebut uang koin pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 yang berjumlah Rp 15.000, hasil jerih-payahnya berlomba dalam tradisi Tawurji Keraton Kanoman.

“Sebelumnya saya ga pernah ikutan yang namanya begini (tradisi tawurji). Tapi tidak mengerti, tahun ini, jiwa saya untuk ikut, seperti ingin merebut apa gitu semangatnya. Padahal maaf ih uang receh, dulu seperti itu. Tapi di balik ini, saya merasa ada apa ya, padahal sudah mau 40 tahun saya,” aku Rochani usai mengikuti tawurji kepada Kompas.com (7/11/2018).

Ibu yang telah dianugrahi empat orang putri ini menceritakan, dirinya turut berkumpul dalam kerumunan bersama warga lain di halaman. Rochani ancang-ancang, saat melihat rombongan Pangeran Raja Muhammad Emirudin Sultan Keraton Kanoman XII, bersama keluarga dan abdi dalam keraton keluar ruangan, dan bersiap menawur (menabur) uang.

Baca juga: “Tradisi Tawurji” Ngalap Berkah dan Mempertahankan Kearifan Lokal

Terlebih saat syair tawurji dinyanyikan bersama-sama yang berbunyi: “Tawurji, Tawurji, Tawur tuan aji, smoga dawa umur. Tawur!” artinya tawurji, tawurji, tabur tuan aji semoga panjang umur, tabur!

Seketika, suasana yang semula tenang, berubah menjadi ricuh. Para warga berebut uang koin yang ditaburkan ke atas langit dan berceceran di bumi. Rochani merogoh koin di tiap sela tangan warga lain.

“Ya jelas ikut desek-desekan, orang tadi ngambil sampe berjempet-jempet. Tapi keinjek mah tidak. Saya dengan posisi biasa dan ngambil yang di lubang-lubang tangan orang. Dengan melihat Tawurji aja asyik, tapi dengan menikmati sendiri secara langsung itu, oke, yakin,” ungkap Rochani sambil acung jempol simbol antusiasmenya.

Wanita yang aktif dalam dunia seni ini hingga menitipkan anaknya yang menangis saat tawurji berlangsung. Menurutnya mengikuti tradisi tawurji, bukan hanya soal uang koin, melainkan semangat untuk menjaga tradisi yang telah diturunkan para wali.

Selain itu, ia berprinsip, tidak akan sempurna nominal uang tanpa pecahan kecil. “Dari uang receh-receh. Angka-angka itu tidak akan sempurna, semisal Rp 1.000 kurang Rp 100 bukan seribu, meski receh ada nilainya,” tutup istri Muhamad Izmah, salah seorang seniman Cirebon, ini.

Baca kelanjutannya di: Tawurji, Tradisi Sedekah Keraton di Cirebon, dan Konteks yang Terlupakan (2)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com