Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Minimnya Buku di Tengah Tingginya Minat Baca Anak-anak Perbatasan

Kompas.com - 12/11/2018, 10:46 WIB
Sukoco,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Data dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 menunjukkan 46,83 persen pelajar kelas 4 SD tergolong kurang mampu membaca.

Handoko Widagdo, Manajer Provinsi INOVASI Kalimantan Utara (Kaltara) mengatakan, angka tersebut berbanding terbalik dengan hasil Survei Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Indonesia (SIPPI) tahun 2017 dimana minat baca siswa kelas awal di Kabupaten Bulungan dan Malinau telah mencapai 85 persen.

Menurutnya, hal tersebut disebabkan minimnya ketersediaan buku non pembelajaran yang ada di sekolah.

“Dari 4.055 judul buku yang ada di perpustakaan sekolah, hanya 393 judul yang sesuai dengan kelas awal,” ujarnya, Senin (12/11/2018).

Baca juga: Pahlawan Ini Gendong Buku Menjaga Nasionalisme di Tapal Batas NKRI

INOVASI merupakan Program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia dalam rangka memahami cara-cara untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa di sekolah-sekolah yang ada di berbagai kabupaten di Indonesia, terutama dalam hal kemampuan literasi dan numerasi (calistung).

Bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, INOVASI menjalin kemitraan dengan 17 kabupaten yang tersebar di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.

Sarinah, Ketua Gerakan One Person One Book, atau gerakan menyumbang satu buku untuk siswa sekolah dasar di Kabupaten Bulungan mengaku miris dengan kenyataan betapa minimnya ketersediaan buku di sekolah dasar di wilayah perbatasan Kalimantan Utara.

Saking minimnya ketersediaan buku, buku paket pelajaran yang seharusnya wajib dimiliki oleh siswa juga menjadi barang langka di sekolah.

Baca juga: Perjuangan Taman Baca Wadas Kelir, dari Perpustakaan di Teras Rumah hingga Lahirkan Anak Berprestasi

 

“Realitanya anak-anak sekolah ini suka membaca. Bisa membaca buku paket pelajaran saja mereka sudah senang sekali, karena ternyata buku itu satu-satunya buku cetak yang ada di sekolah mereka. Dan itu dipegang oleh guru,” katanya.

Selama 3 tahun terakhir, melalui gerakan one person one book Sarinah mengaku telah menerima lebih dari 3.500 judul buku sumbangan dari warga yang telah disalurkan ke 5 perpustakaan di sekolah dasar di pelosok wilayah perbatasan yang menjadi mitra mereka.

Sayangnya, hanya sekitar 30 persen buku sumbangan tersebut yang sesuai untuk usia anak sekolah. “Bahkan sumbangan buku LKS bekas sangat berarti bagi anak-anak di perbatasan karena kebanyakan buku sumbangan itu berupa majalah dan buku umum,” imbuhnya.


Terganjal aturan 


Sofie Dewayani dari Yayasan Litara, salah satu yayasan yang memelopori lahirnya buku bacaan yang sesuai untuk anak-anak mengatakan, di tengah minimnya ketersediaan buku bacaan untuk anak, ada kecenderungan dari orangtua saat membeli buku memilih buku yang tingkat kesulitannya setingkat di atas kemampuan anak membaca.

Alasannya buku tersebut akan lebih lama dibaca. Padahal anak-anak usia 4 sampai 9 tahun lebih cenderung menyukai buku yang lebih banyak gambarnya ketimbang buku yang banyak tulisannya untuk dipahami. 

Baca juga: Membaca Bisa Mengobati Rasa Kesepian

"Untuk menikmati bacaan tidak hanya cerita, tapi juga menikmati gambar. Kami sedang kampanyekan itu,” ucapnya.

Sejak berdiri tahun 2014, Litara telah menelurkan 25 judul buku yang sesuai dengan kebutuhan buku anak-anak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com