Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jemparingan, tentang Perasaan yang Tak Pernah Menipu dan Indahnya Silaturahim

Kompas.com - 11/11/2018, 12:08 WIB
Dani Julius Zebua,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

Perasaan tak menipu

Memanah ala Mataraman, kata Dono, lebih pada mengolah pikiran, perasaan, dan berakhir pada keputusan sang pemanah melepas anak panah untuk mengenai sasaran. Situasi hati mempengaruhi hasil memanah. Karenanya, konsentrasi penuh dan ketenangan batin sangat diperlukan.

Teknik yang berkembang sekarang adalah memegang busur agak vertikal lalu menarik tali busur sejajar bahu. Mata punya peran besar selagi 'nginceng' atau membidik.

Pada tradisi kuno, busur masih yang sederhana dan cara memegang gendewa tidak vertikal tapi horisontal. Tali busur dan anak panah ditarik ke dada.

Meski berbeda cara, keduanya punya filosofi sama, yakni konsentrasi, mengolah rasa, memiliki ketenangan dalam mengambil keputusan, agar anak panah tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan.

"(Filosofi) pembentukan karakternya. Kalau di masa lalu, bukan soal siapa jadi juara. Tapi orang yang terbentuk hatinya. Mereka yang bisa menjaga emosinya," kata Mbah Dono.

Baca juga: Bandara NYIA di Kulon Progo Didesain Tahan Gempa dan Tsunami

Namun kalau disuruh memilih, ia lebih suka memanah dengan cara kuno.

"Memanah dengan nginceng mengandalkan mata itu mudah tertipu. Tapi perasaan tidak menipu. Mata hati itu luar biasa, benar dan tepat sasaran. Makanya di kraton itu begini (horisontal)," kata Mbah Dono.

Apa pun yang berkembang kini, dia menyambut gembira. Pasalnya, semua berawal dari semangat melestarikan nilai luhur budaya Kemataraman yang merujuk pada nilai-nilai yang berasal dari keraton Yogyakarta.

Di dalamnya, bisa berupa budi pekerti yang dikembangkan di kalangan keraton, aktivitas, sastra, hingga cara berbusana, yang semuanya itu lantas dilestarikan di masyarakat, termasuk pula aktivitas "kompetisi" memanah yang tadinya hanya jadi pertandingan di kalangan keluarga kerajaan.

"Generasi kita perlu tahu dan mengikuti. Budaya ini perlu disentuh sehingga lestari," kata Joko Mursito, Sekretaris Jenderal Jemparingan Nusantara.

Dalam jemparingan, bandulan dari karet ini jadi target. Jaraknya antara 29-33 meter. Bandulan itu bulat panjang diberi warna putih, kuning, dan merah. Bandulan digantung berdiri dan terhubung pada kerincingan yang kalau kena panah terdengar suara gemerincing nyaring . KOMPAS.com/ DANI J Dalam jemparingan, bandulan dari karet ini jadi target. Jaraknya antara 29-33 meter. Bandulan itu bulat panjang diberi warna putih, kuning, dan merah. Bandulan digantung berdiri dan terhubung pada kerincingan yang kalau kena panah terdengar suara gemerincing nyaring .
Gembira bersilaturahim

Kulon Progo sendiri termasuk daerah yang aktivitas jemparingan cukup bergairah. Demi mempertahankan tradisi ini, mereka membangun Kampung Jemparingan Mataraman di Kecamatan Pegasih pada tahun 2017.

Di sana, ada sasana atau arena memanah. Sasana ini sering kali jadi tuan rumah adu memanah antar komunitas atau klub, hingga berlatih para pelajar. Mereka juga mengembangkan Jemparingan Dalu atau malam hari pada tiap 1 Legi atau 40 hari sekali.

"(Memanah) tidak mengutamakan mata," kata Joko.

Jumlah kompetisi makin banyak, antara lain Gladi Hageng Jemparingan Tingkat Nasional yang berlangsung di Hari Jadi Kulon Progo, seperti akhir Oktober 2018 lalu.

Baca juga: Kisah Mas Rinto, Tukang Bakso Berdasi yang Terinspirasi James Bond

Selain itu, pada Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 2018, 120 pemanah dari 17 klub asal Surakarta, Wonogiri, Bantul, Sleman, Kota Yogyakarta, hingga beberapa kota dari Jawa Timur berkumpul.

Penghobi jemparingan terus berkembang ke kota dan provinsi lain, termasuk Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Madura.

Dari yang tadinya hanya olahraga di antara klub hobi dan komunitas, kini mereka bisa bertanding antar-daerah. Kompetisi semakin banyak, semakin teratur, bahkan tidak hanya di tingkat kota, tapi tingkat nasional yang diikuti klub-klub dari banyak provinsi.

"Biasanya (kompetisi tingkat nasional) menempel dengan hari jadi daerah itu," kata Joko.

"Jemparingan sekarang dikelola sangat bagus. Karenanya saya sudah ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur. Sebentar lagi ke Madura," kata Mbah Dono.

Olahraga ini membawa kegembiraan semua peserta. Bukan hanya karena hadiah, tetapi mereka bebas tertawa, saling berbincang, bersorak, tepuk tangan. Kadang menyempatkan merokok, ngemil, minum kopi atau teh.

Konon situasi ini mirip masa lalu, di mana sambil posisi duduk para bangsawan memanah dibarengi bercengkrama membicarakan bisnis. Mereka ditemani kopi, teh, atau makanan ringan.

"Sah saja asal etika dan budayanya tetap dijunjung. Itu yang paling menarik. Semua itu silaturahimlah yang paling utama. Saling berbalas mengundang jemparingan dan saling kunjung," kata Joko.

Dalam perkembangannya, banyak atlet memanah yang sudah pensiun ikut serta. Ada yang memang memburu hadiah. Banyak di antara mereka yang ikut serta karena kepentingan bisnis.

Namun yang terpenting, kata Mbah Dono, ikatan persaudaraan di sana begitu kuat. Juara bukan segalanya.

"Ini saya. Silaturahim yang utama," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com