BANDUNG, KOMPAS.com - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menolak Upah Minimum Provinsi (UMP) Jabar tahun 2019 sebesar Rp 1.668.372, atau naik 8,03 persen.
Hal tersebut disampaikan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy jinto di Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/11/2018).
"UMP kenaikan 8,03 persen itu jelas kita tolak," kata Jinto.
Seperti diketahui sebelumnya, Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengumumkan UMP Jabar tahun 2019 sebesar Rp 1.668.372, angka tersebut naik sebesar 8.03 persen dari sebelumnya sebesar Rp 1.544.360.
Penetapan tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1046-Yanbangsos/2018 tentang UMP Jawa Barat Tahun 2019.
Adapun alasan penolakan itu, kata Jinto, karena Jabar tidak membutuhkan UMP. Sebab, Jabar sendiri memiliki upah minimum kota (UMK) di 27 kabupaten/kota yang akan ditetapkan pada tanggal 21 November 2018 nanti.
"Yang disebut upah minimun berlaku itu upah minimum kabupaten/kota bukan UMP, maka ketika gubernur menetapkan UMP yang menjadi pertanyaan UMP ini buat siapa? Buat perusahaan mana? Beda dengan DKI, UMP karena memang tidak memiliki UMK, jadi berlaku di Jakarta itu adalah UMP, sedang di Jabar yang berlaku UMK kabupaten/kota di 27 kabupaten/kota yang akan ditetapkan pada tgl 21 November nanti," tuturnya.
Baca juga: Ridwan Kamil Umumkan UMP Jabar Sebesar Rp 1.668.372
Lebih lanjut Jinto mengatakan bahwa penetapan UMP yang diumumkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
"Penetapan UMP ini gubernur berdasarkan PP 78, surat edaran menteri yang inflasi pertumbuhan ekonomi akhirnya menjadi 8,03 persen. Nah kalau kita melihat UU Nomor 13 bahwa UU 13 Pasal 88 itu gubernur dalam menetapkan upah minimum itu harus berdasarkan KHL, kemudian pertumbuhan ekonomi dan produktifitas. Artinya UMP ini dipastikan penetapannya tidak berdasarkan KHL," ujarnya.
Jinto bahkan menilai bahwa selama ini pun dewan pengupahan tidak pernah menyuvei KHL, sehingga penetapan UMP yang diumumkan gubernur Jabar hanya berdasarkan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
"Dengan demikian UMP ini bertentangan dengn UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sehingga tentu sikap kita menolak," tegasnya.
Dewan pengupahan
Emil juga memutuskan untuk mencabut Peraturan Gubernur Jabar No 54/2018 tentang Tata Cara Penetapan dan Pelaksanaan Upah Minimum di daerah Provinsi Jawa Barat.
Menanggapi hal itu, Jinto mengapresiasi pencabutan tersebut. Menurutnya, Pergub Nomor 54 tentang Tata Cara Penetapan dan Pelaksana Upah Minimum dianggapnya sebagai adopsi dari PP 78.
"Karena banyak bertentangan dengan UU, salah satunya penetapan upah sektor itu harus ada kuasa di perusahaan masing-masing, kedua upah sektor berlaku per Februari," katanya.
Baca juga: UMP 2019 di Jatim Ditetapkan Rp 1,63 Juta
Pergub ini pun dinilainya bertentangan dan menghilangkan fungsi dewan pengupahan seutuhnya. Pasalnya, kata Jinto, apabila dewan pengupahan tak menyetujui berita acara upah minimum, cukup hanya dengan tanda tangan ketua dan sekretaris
"Kalau misalkan salah satu unsur tak menyetujui itu maka sah menurut pergub tersebut hanya tanda tangan ketua dan sekretaris. Sementara kita ketahui bersama ketua dewan pengupahan itu kepala Dinas Ketenagakerjaan, kemudian sekretarisnya, kabidnya, ya sudah ngapain saja," kata Jinto.
"Kalau dibutuhkan dua tanda tangan itu enggak usah dewan pengupahan. Karena dalam Pergub itu disahkan kalau terjadi deadlock, tidak ada voting dan salah satu pihak tak setuju bahwa berita acara itu sah ditandatangani ketua dan sekretaris dewan pengupahan," katanya.
Jinto menilai, dewan pengupahan ini hanya formalitas, yakni memberikan ruang untuk mengusulkan. Kalau dewan pengupahan menolak dan enggak bersedia menandatangan, kebijakan upah tetap sah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.