MAJALENGKA, KOMPAS.com — Eman Sulaeman (30) tak pernah menyangka seumur hidupnya bisa meraih penghargaan. Dia didapuk sebagai “Kiper Terbaik" dalam Kejuaraan Piala Dunia Tunawisma 2016.
Setelah tiba di Indonesia, dia juga menerima penghargaan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Olahraga Imam Nahrowi pada Haornas di Stadion Delta Sidoarjo, Surabaya.
Semua capaian itu tidak didapatnya dengan mudah. Pasalnya, Eman hanya dikaruniai satu kaki yang sempurna sejak lahir. Kaki kirinya hanya mencapai lulut.
Dia sangat bersyukur, ketika semua berawal pada 22 tahun silam atau sekitar tahun 1996. Saat itu, Eman baru duduk di bangku kelas II SDN 1 Tegal Sari, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka.
Baca juga: Kisah Eman Sulaeman Jadi Kiper Terbaik Dunia Meski Hanya Punya Satu Kaki (1)
Saat sore tiba, Eman kerap kali diajak bermain sepak bola oleh kakaknya, Jaja (35). Eman terus memperhatikan Jaja dan teman-temannya saat bermain.
Lambat laun, Eman tertarik dan mulai berlatih. Kondisi fisik yang kurang sempat membuatnya kesulitan karena sepak bola adalah olahraga yang bertumpu pada kaki.
“Awalnya kesulitan karena kondisi fisik yang seperti ini. Tapi Kang Jaja selalu memotivasi dan mendidik saya agar tetap bagus bermain bola. Guru saya ya kakak saya,” ungkap Eman saat ditemui usai latihan di GOR.
Untuk dapat berlari kencang, pria kelahiran 7 Februari 1988 ini menggunakan bantuan tangan kirinya. Sekali dua kali, dia merasa kesulitan dan kesakitan, tetapi Eman tak berhenti berlatih.
Sebuah lapangan yang berada di belakang sekolah SD-nya adalah tempatnya menempa diri. Tempat itu juga menjadi saksi bisu dirinya berkali-kali jatuh bangun dan kerap dipandang berbeda oleh orang-orang sekitar.
Eman masih ingat saat tidak sedikit orang melihatnya sebelah mata. Sebagian dari mereka mengasihani Eman karena fisiknya. Satu dua orang juga melontarkan kata yang menurunkan semangatnya.
“Sebagian dari teman sendiri. Ya wajar, namanya juga anak kecil, mungkin maksudnya bercanda,” jawabnya dengan tenang.
Menurut Eman, sedih hingga meneteskan air mata sudah biasa. Semua yang dialaminya selalu sirna saat curhat bersama ibu dan bapak di rumah. Keduanya memompa kembali semangat Eman dan menganggap Eman memiliki kemampuan yang sama seperti manusia berkaki normal.
Begitu pun kakaknya Jaja yang selalu pasang badan ketika Eman mendapat perkataan atau perlakuan tidak enak dari orang lain.
Berkat dukungan orang-orang terdekat, keinginan belajar Eman semakin tinggi. Dia terus belajar bersama Jaja secara otodidak hingga keduanya sering lupa waktu. Dia tidak ikut Sekolah Sepak Bola (SSB) karena tidak mampu.