Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Arti Tradisi Sedekah Laut, Bentuk Rasa Syukur dalam Kacamata Budaya

Kompas.com - 15/10/2018, 07:28 WIB
Markus Yuwono,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Pada Jumat (12/10/2018) malam, pelaksanaan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul dilarang oleh sejumlah pihak dengan merusak properti acara tersebut. 

Polisi sendiri mengamankan sembilan saksi terkait kasus perusakan properti ini. 

Semua pihak tentunya prihatin dengan perusakan tersebut sebab mencederai budaya dan kearifan lokal yang ada. Di Daerah Istimewa yogyakarta (DIY) sendiri, ditemukan beragam budaya. Mulai dari seni pertunjukan hingga budaya tradisi. 

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sedekah laut merupakan ritual budaya yang terlarang? Serta sejak kapan tradisi sedekah laut ini berkembang? 

Berikut penuturan Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Rinta Iswara kepada Kompas.com usai mengisi sarasehan budaya dengan tema Hajad Dalem Labuhan di Balai Desa Pleret, Bantul Minggu (14/10/2018). 

Baca juga: Polisi Periksa 9 Saksi Kasus Perusakan Properti Sedekah Laut di Bantul

"Ditanya sejak kapan, upacara labuhan tidak ada referensi menerangkan sejak kapan," ucapnya.  

Menurut dia, tradisi ini diteruskan oleh Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat mengacu pada kerajaan Mataram (Islam) sebelumnya. Sejak 16 Masehi, sebuah kerajaan Mataram sudah ada di tanah Jawa.

Jika merujuk, dari www.kratonjogja.id, kerajaan Mataram awalnya pusat kerajaan berada di wilayah Yogyakarta, tepatnya di wilayah Kota Gede, saat ini. Namun, kemudian Belanda terus melakukan ekspansi sehingga pusat kerajaan Mataram kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.

Sampai akhirnya munculah perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang memecah Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

KRT Rinta menceritakan, sebenarnya budaya yang dilakukan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, merupakan sarana ucapan rasa syukur, dan tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya.

Bahkan, masyarakat Jawa yang memeluk Islam, menyelipkan tradisi. Misalnya dalam perayaan agama Islam, masyarakat jawa menggelar sodakohan atau memberikan sedekah.

Baca juga: Tuturangiana Andala, Tradisi Sedekah Laut Masyarakat Pulau Makasar

 

"Sebagai orang Jawa kita mestinya harus tahu budaya Jawa. Supaya tidak apriori terhadap budaya Jawa kita sendiri. Baik yang berupa seni apapun semi tari, seni suara, seni tradisi, macam-macam. Itu sebetulnya tradisi yang dilaksanakan di Jawa itu adalah menandakan orang Jawa adalah orang yang religius," katanya

Dalam tradisi tersebut diharapkan antara agama dan budaya bisa berjalan beriringan. Misalnya, dalam adab makan dan minum. Dari sisi agama, setiap orang wajib berdoa sebelum makan dan minum. Sementara, dari sisi budaya mengajarkan bagaimana sikap seseorang saat makan minum seperti cara duduk. 

Menurut dia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat diangkat raja menyebutkan jika adat istiadat keraton yang tidak merugikan masyarakat tetap dilaksanakan. Misalnya tradisi Grebek yang sampai sekarang masih dilakukan.

KRT Rinta menjelaskan, kebudayaan merupakan pilar bangsa. Keberagaman juga tetap harus senantiasa dihormati. Jika tidak menyetujui tidak mengikuti tidak apa-apa, tetapi tidak boleh merusak.

Baca juga: Sedekah Laut di Trenggalek, Tumpeng Raksasa Dilarung ke Tengah Laut

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com