Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Subaini, Penjual Es yang Tergulung Tsunami Bersama 3 Anaknya

Kompas.com - 08/10/2018, 06:23 WIB
Rosyid A Azhar ,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Di mana-mana terdengar suara minta tolong, dia sendiri tidak mampu bergerak.
Peristiwa ini seperti mimpi, ia coba meyakinkan dirinya bahwa yang sedang ia alami ini bukan mimpi.

Tiba-tiba Enteng sadar, ia ingat anak-anaknya. Saat itu ia merasa memiliki tenaga yang sangat kuat. Ia bangkit dan berjalan ke arah tempat jualannya.

Ya, dia ingat ketiga anaknya! Mawar, Riski dan Nur Adiba. Di mana mereka?
Ia pandangi tempat jualannya, tidak ada apapun kecuali sampah dan materi yang berhamburan.

Ia perhatikan lagi, temaram senja tak menghalangi matanya untuk mencari anak-anaknya.
Enteng sapu pandangan ke sekitar, tidak ada anaknya.

Baca juga: 1.755 Jenazah, Termasuk Satu Warga Korsel Dimakamkan di Palu

Yang ia saksikan adalah jasad-jasad yang bergelimpangan, ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. Ia juga tidak ingat apakah di antara yang terbaring ini adalah keluarganya, tetangganya atau teman sesama pedagang.

"Saya sedih, tidak ada anak saya tiga-tiganya," kata Enteng lirih.

Lututnya tiba-tiba lemah, ia sedih sesedih-sedihnya. Gelapnya malam tak bisa menyembunyikan air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya di pantai yang porak-poranda.

Namun tangis Enteng seperti tak berarti, karena ada banyak suara minta tolong kesakitan yang menyayat di sepanjang Pantai Talise.

Malam itu Pemerintah Kota Palu telah menjanjikan Festival Pesona Nomoni 2018 yang megah dan meriah, lampu dan kembang api bergoyang bersama musik dan nyanyian.

Kini kemeriahannya berganti dengan lolongan kesakitan tatusan orang dan rasa kehilangan yang sangat.

Suara musik berganti gemuruh laut yang murka, yang membawa berton-ton air dan menabrakkan pada siapa saya yang ada di depannya.

Baca juga: Cerita Pengungsi di Palu Antusias Memilih Pakaian Layak Pakai...

Enteng, wanita perkasa ini luruh. Air matanya mengalir deras, ketiga anaknya direnggut gelombang tsunami di depan matanya.

Bulan yang benderang di angkasa menerangi wajahnya. Luka-luka di sekujur tubuhnya mulai terasa nyeri. Kulit tangannya terparut entah oleh benda apa, juga kakinya berdarah-darah tak tahu disebabkan oleh apa.

Enteng kehilangan segalanya, dagangan yang menghidupinya sirna. Ketiga anaknya entah di mana. Dan sekujur tubuhnya penuh luka, jangan ditanya rasa yang ada di dalam dadanya.

Beruntung salah satu anak Enteng yakni Riski, secara ajaib juga selamat dari amukan tsunami. Kini Enteng dan riski berada di tenda pengungsian di kota Palu. 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com