Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Taman Baca Ini, Sisri Keluar dari Depresi, Martini Tak Lagi Ngawur Berhitung (2)

Kompas.com - 27/09/2018, 15:49 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

TEGAL, KOMPAS.com - Selain para preman, warga terminal lain, seperti pengamen dan pengemis juga dilayani oleh Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti di Terminal Kota Tegal, Jawa Tengah.

Sisri (30), seorang penyandang disabilitas, adalah murid kejar paket A paling menonjol di taman baca ini.

Meski tangan dan kakinya tidak utuh sejak lahir, Ibu satu anak itu terlihat begitu energik dibanding teman-temannya. Bagi mereka, Sisri yang keseharian mengemis di terminal Kota Tegal adalah contoh nyata keberanian.

Semula perempuan asal Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal, itu tidak sepercaya diri seperti saat ini. Sisri yang menyimpan memori buruk akibat sering diejek, dikasari dan dijauhi oleh teman-temannya menjelma menjadi pribadi yang mudah marah dan tidak bersahabat. Terlebih lagi, saat hamil ia tiba-tiba ditinggal pergi begitu saja oleh suaminya.

Sisri pun akhirnya depresi karena riwayat kelam itu. Saat mengemis di terminal Kota Tegal, Sisri berteriak-teriak dan memaki-maki kepada siapa pun yang tidak berbelas kasihan kepadanya. Karena sering membuat gaduh, tak jarang Sisri pun harus bersembunyi dari razia Satpol PP.

Baca juga: Kisah Taman Baca Sakila Kerti, Tempuh Bahaya agar Preman Terminal Berubah (1)

Sejak sering mengikuti kegiatan pembelajaran dan pengajian di TBM Sakila Kerti, Sisri berubah menjadi pribadi yang santun dan religius.

Bukan lagi Sisri yang kasar tak terkontrol emosinya seperti dulu. Ia lebih kalem dan menghormati siapapun juga. 8 tahun aktif di TBM Sakila Kerti, Sisri menemukan sisi kenyamanan selayaknya keluarga. Banyak orang yang merangkul, memerhatikan dan memedulikannya.

"Kelas 3 SD saya keluar karena tak tahan sering dihina. Kini suami saya juga pergi entah ke mana. Awalnya saya asing dengan TBM Sakila Kerti dan biasanya saya bersembunyi di TBM Sakila Kerti dari kejaran Satpol PP. Lama kelamaan saya dirangkul dan dibimbing di TBM Sakila Kerti. Saya sekarang sedang menempuh kejar paket A dan aktif mengaji. Banyak pelajaran berharga yang saya dapat," tutur Sisri yang masih mengemis di terminal Kota Tegal, Jumat (17/8/2018).

Baca juga: Jelajah Literasi, Antologi Kisah 20 Taman Baca Penggerak Mimpi Anak-anak

Lain lagi Sisri, lain lagi dengan Saryadi (40), warga Kecamatan Margadana, Kota Tegal. Pedagang asongan di terminal Kota Tegal ini semula hanya iseng-iseng membaca majalah di TBM Sakila Kerti di sela waktunya.

Lama kelamaan, dia ketagihan membaca karena selain gratis, berbagai macam buku juga tersedia. Saryadi pun lantas tertarik untuk mengikuti pendidikan non formal di TBM Sakila Kerti, mulai dari kejar paket A, B dan kini mengikuti kejar paket C.

"Pendidikan itu penting dan menambah wawasan. Kini saya bisa mengajari anak saya yang SD dalam belajar. Saya masih berdagang asongan di terminal Kota Tegal, namun saya berencana membuka usaha kecil-kecilan," kata Saryadi, relawan TBM Sakila Kerti.

Suasana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti, terminal Kota Tegal, Jawa Tengah, Jumat (17/8/2018).KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO Suasana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti, terminal Kota Tegal, Jawa Tengah, Jumat (17/8/2018).
Tak lagi ngawur berhitung

Martini (53), pedagang nasi di terminal Kota Tegal, mengakui bahwa pola pikir warga terminal kian meningkat setelah mengikuti kegiatan pembelajaran di TBM Sakila Kerti.

Warga Kota Tegal ini mengisahkan, dulunya rata-rata pedagang di terminal Kota Tegal termasuk dirinya "main tubruk" saja saat menentukan harga yang dibeli konsumen. Hal itu lantaran mereka tak berijazah sehingga kesulitan dalam berhitung.

"Banyak warga yang mengeluh karena kami seenaknya menghitung alias ngawur. Suatu ketika, TBM Sakila Kerti menggelar acara pengajian dan memesan nasi di salah satu kios pedagang di terminal. Selesai acara, total pembayaran mencapai Rp 800.000. Pihak TBM Sakila Kerti terkejut dan membantu penghitungan kembali. Eee ternyata habisnya cuma Rp 300.000. Saya sendiri sadar, saya juga seperti itu karena tak bisa berhitung," tutur Martini.

Seiring berjalannya waktu, warga terminal yang buta aksara dirangkul oleh para relawan TBM Sakila Kerti. Mereka dibekali membaca, menulis, berhitung dan mengaji. Tak hanya itu, warga terminal juga diharapkan lulus kejar paket C di TBM Sakila Kerti.

Kini para pedagang kios makanan di terminal Kota Tegal mulai merasakan manfaatnya. Pembeli mulai berdatangan karena harga makanan sesuai dengan hitungan normal.

Sebelumnya, tak banyak pembeli yang datang berkunjung ke kios makanan di terminal Kota Tegal karena takut disodori harga yang tinggi. Pembeli kapok karena pernah "ditembak" dengan harga yang "ngawur".

"Kebiasaan berhitung ngawur itu kini sudah tidak ada lagi. Kami telah paham berhitung dan sadar akan hukum. Kami sangat berterimakasih kepada TBM Sakila Kerti. Kini kios kami tak lagi sepi," kata Martini.

Wajah baru Terminal Tegal

Pendiri dan Pengelola TBM Sakila Kerti, Yusqon, bercerita, setelah dipercaya oleh Wali Kota Tegal saat itu, Ikmal Jaya‎, untuk mengelola ruangan di dalam terminal Kota Tegal pada Desember 2011, dia mendirikan TBM Sakila Kerti.

Sakila Kerti bermakna "kecerdasan rasa". Kebetulan juga saat itu Pemkot Tegal memang sedang mencanangkan program "Tegal Cerdas".

Kala itu, TBM Sakila Kerti yang memiliki koleksi 400 buku diharapkan menjadi sarana baca gratis bagi pedagang, pengamen,‎ penge‎mis, sopir, kernek, penumpang dan warga terminal lainnya.

Namun, meski bertujuan mulia, mewujudkan niat mereka ternyata bukan perkara gampang. TBM Sakila Kerti terlihat asing bagi para penghuni terminal yang tidak mengamini keberadaannya saat itu. Di awal perjalanan, Yusqon mengaku kerap dicibir, diancam, hingga dipalak.

"Awal saya datang di terminal ini berangkat dari nol. Saya tidak kenal siapa pun. Stiker dan spanduk tentang TBM Sakila Kerti yang saya pasang di sudut-sudut terminal‎ berkali-kali dirobek. Saya juga dimaki, dipalak dan bahkan ban motor saya sering dikempesin hingga pentilnya dibuang. Jarak dari rumah ke terminal sekitar 7 kilometer. Saya jalani itu dengan ikhlas, sebab saya yakin pendidikan akan merubah segalanya menjadi lebih baik," ungkap pria kelahiran 9 April 1965 ini.

Suasana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti, Terminal Kota Tegal, Jawa Tengah, Jumat (17/8/2018). Di taman baca ini, warga terminal juga diajak untuk mendalami Al Quran.KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO Suasana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti, Terminal Kota Tegal, Jawa Tengah, Jumat (17/8/2018). Di taman baca ini, warga terminal juga diajak untuk mendalami Al Quran.
Namun, Yusqon ‎yang telah bertekad mengentaskan buta aksara pantang menyerah. Dia terus mencetuskan terobosan untuk menyedot pengunjung TBM Sakila Kerti.

Pendekatan demi pendekatan guna menarik simpati warga terminal pun bertahap digencarkan. Saat itu, Yusqon hanya dibantu beberapa relawan termasuk istrinya, Sismiyati (50).

"Sering saya adakan pergelaran seni budaya dan pengajian di terminal Kota Tegal yang isinya menyinggung pentingnya pendidikan. Alhamdulilah, perlahan TBM Sakila Kerti mulai ada pengunjung hingga puluhan per harinya. Kini tercatat yang mendaftarkan diri menjadi pembaca di TBM Sakila Kerti sekitar 100 orang. Saya merintis sendiri dengan istri selama dua tahun. Setelah itu baru ada relawan. Kini total relawan yang aktif, 15 orang," kata Doktor jebolan Unnes ini.

Sepak terjang bapak tiga anak ini dalam mengayuh TBM Sakila Kerti ternyata sampai juga ke telinga pemerintah. Apresiasi dari berbagai pihak pun turut serta mengiringi laju TBM Sakila Kerti.

Tak hanya sekadar menjadi ruang baca, dalam perkembangannya TBM Sakila Kerti juga mulai bertransformasi menjadi sekolah baru bagi penduduk terminal yang mayoritas berusia di atas remaja. Langkah ini merupakan inovasi Yusqon yang dinamainya "Ladis Song Malam".

Ladis Song Malam sendiri kepanjangan dari Layanan dengan Inovasi Simultan untuk Pengasong Masyarakat Lansia Terminal. Target utama dari penerima manfaat kegiatan "Ladis Song Malam" adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang termarjinalkan.

Selain itu, ada pula "Gerobak Literasi" yang bisa dipergunakan siapa pun untuk membaca buku gratis sambil menikmati minuman dan makanan yang dibeli di Gerobak Literasi.

Para penghuni terminal juga diberi pengajaran tentang kesadaran akan hukum serta menghidupkan bakat-bakat terpendam para penghuni terminal dengan memajang karya puisi para pengasong, pengamen, dan pengemis.

"Alhamdulilah dengan bekal pendidikan, para penghuni terminal yang selama ini kurang diperhatikan menjadi lebih santun dan sadar akan hukum. Pola pikirnya berkembang. Dahulu sering ada perkelahian, mabuk-mabukan dan pemalakan di terminal, kini kekerasan itu  telah hilang. Imej terminal yang seram sudah tak ada lagi. Kegiatan mereka lebih positif," katanya.

BERSAMBUNG:

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com