Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Baca Bakau, Merawat Mimpi Anak-anak di Balik Hutan Mangrove

Kompas.com - 26/09/2018, 22:49 WIB
Iqbal Fahmi,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

DELI SERDANG, KOMPAS.com - Hidup di kawasan hutan mangrove merupakan berkah sekaligus tanggung jawab. Kekayaan hayati yang terkandung di sela-sela akar bakau hampir tak pernah membuat nelayan merasa lapar.

Mangrove tak pernah ingkar janji. Namun sekali dia disakiti, tak akan ada lagi ikan dan udang untuk lauk sore nanti.

Hidup selaras dengan alam hutan payau merupakan keniscayaan bagi masyarakat di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kawasan hutan mangrove di pesisir Percut adalah zona hutan lindung dan jalur hijau (green belt) yang sangat penting bagi ekosistem lansekap pesisir Timur Sumatera Utara.

Baca juga: Jelajah Literasi, Antologi Kisah 20 Taman Baca Penggerak Mimpi Anak-anak

Masyarakat di Desa Percut, terutama blok pemukiman bagan Percut yang berpenduduk sekitar 1150 jiwa (240 kepala keluarga) didominasi oleh nelayan tradisional. Mereka hanya mampu melaut di perairan dangkal secara berkelompok menggunakan perahu-perahu kecil berukuran maksimal 5 gross ton.

Ismail (38), pendiri Rumah Baca Bakau di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Taman baca ini didirikan dengan tujuan mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut. Perubahan ini penting agar warga tak abai lagi dan lebih peka terhadap lingkungan demi menjaga usia hutan mangrove lebih panjang.KOMPAS.com/M IQBAL FAHMI Ismail (38), pendiri Rumah Baca Bakau di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Taman baca ini didirikan dengan tujuan mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut. Perubahan ini penting agar warga tak abai lagi dan lebih peka terhadap lingkungan demi menjaga usia hutan mangrove lebih panjang.
Populasi ikan tangkapan yang berlimpah di perairan dangkal pesisir Percut sangat ditopang oleh rantai ekosistem kawasan mangrove.

Ikan, udang dan kepiting yang sejak zaman nenek moyang menjadi komoditas nelayan Desa Percut berkembang biak dan mencari makan di bawah rimbun akar pohon bakau.

Namun, hutan mangrove di kawasan pesisir Percut saat ini tengah mengalami degradasi, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Baca juga: Kerinduan Terdalam Rumoh Baca Hasan-Savvaz, Anak-anak Jauh dari Narkoba (1)

Dalam kurun beberapa tahun saja, dari total kawasan mangrove seluas 3.600 hektar hanya tersisa tidak lebih dari 500 hektar.

Deforestasi ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti illegal logging dan konversi hutan menjadi kolam, tambak, pemukiman, pertanian hingga kebun kelapa sawit.

Tak ayal, berbagai dampak ekologis primer mulai dirasakan oleh masyarakat pesisir Percut. Perubahan garis baku pantai karena erosi dan abrasi menyebabkan perkampungan nelayan acapkali terendam rob saat air laut pasang.

Tak ada lagi ikan, mangrove rusak

Pada akhirnya, fenomena alam akibat dampak rusaknya hutan mangrove telah mengubah pola sosial masyarakat pesisir Percut.

Dalam jangka panjang, warga Desa Percut mungkin tak bisa lagi mendapati ikan di belakang rumah panggung yang berjejer di tepi kuala.

Nelayan tradisional harus melaut lebih jauh ke perairan lepas. Bayang-bayang ongkos operasional yang melangit dan ancaman ombak ganas Selat Malaka terus menghantui mereka.

Baca juga: Cerita Tia yang Tak Peduli Tak Digaji agar Anak-anak Bisa Membaca (2)

Mangrove tak pernah ingkar janji. Dia dapat menjadi rumah sekaligus tuan atas kehidupan lintas generasi. Tindakan merusak mangrove yang asri, bagi masyarakat pesisir Percut, tidak lain hanya upaya mereka untuk menggali liang kuburnya sendiri.

Berangkat dari keprihatinan terhadap kerusakan mangrove tersebut, seorang pemuda asal desa tetangga, Ismail (38), berupaya mengubah tabiat warga Desa Percut yang abai menjadi lebih peka terhadap lingkungan.

Namun dia sadar, perubahan akan mustahil terjadi jika masyarakat tidak memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup.

Anak-anak membaca di atas perahu menyusuri sungai hutan mangrove di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Melalui Rumah Baca Bakau, Ismail (38) dan rekan-rekannya ingin mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut sehingga bisa mengubah tabiat warga Desa Percut yang abai menjadi lebih peka terhadap lingkungan.KOMPAS.com/M IQBAL FAHMI Anak-anak membaca di atas perahu menyusuri sungai hutan mangrove di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Melalui Rumah Baca Bakau, Ismail (38) dan rekan-rekannya ingin mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut sehingga bisa mengubah tabiat warga Desa Percut yang abai menjadi lebih peka terhadap lingkungan.
Pada 8 Juli 2012, dia menggagas sebuah rumah baca dengan harapan dapat mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut. Hanya berbekal 50 buku bekas, Ismail mulai bergerilya mengajak anak-anak pesisir untuk bergabung dengan Rumah Baca Bakau.

“Saya meyakini jika membaca merupakan pintu awal melepaskan jeratan masalah di Desa Percut. Dengan membaca, wawasan mereka tentang pentingnya kelestarian lingkungan akan terbuka dengan sendirinya,” katanya.

Namun jalan perjuangan tak pernah semulus harapan. Seperti masyarakat pesisir pada umumnya, karakter kepribadian masyarakat Desa Percut pun cenderung keras.

Hal ini memaksa Ismail yang menyelesaikan program Master of Arts (MA) Bidang Komunikasi Lingkungan, University Of Texas At El Paso tersebut berjibaku dengan friksi-friksi sosial.

Waktu adalah obat yang paling mujarab. Enam tahun berproses, saat ini Rumah Baca Bakau telah memiliki lima relawan yang tanpa pamrih mendampingi anak-anak binaan. Mereka para pejuang literasi tersebut adalah Juhaina Amin, M Kholidi, Maulidayani, Liala Rahmani dan Siti Rusiam.

“Saat ini kami memiliki 100 anak binaan dan telah memberikan 300 kartu anggota perpustakaan. Berkat dukungan dan donasi dari berbagai pihak, Rumah Baca Bakau juga telah memiliki 10.000 koleksi buku, mulai dari tema fiksi, novel, cerita bergambar, komik,  pengetahuan  umum, dan majalah,” ungkapnya.

Hapus stigma keliru

Ismail menjelaskan, Rumah Baca Bakau memiliki sejumlah program yang dijalankan rutin selama tujuh tahun berjuang. Program tersebut antara lain visual literasi, literasi sastra, pustaka keliling, literasi lingkungan, literasi budaya, pojok baca, beasiswa, hingga literasi finansial.

Fokus program visual literasi adalah akselerasi level membaca dan menulis anak-anak Desa Percut. Metode program ini adalah pendekatan visual dengan bahan, alat dan media belajar yang biasa ditemukan di lingkungan sekitar kampung.

“Jika kami ingin anak tertarik untuk membaca buku tentang ikan, maka kami akan bawa ikan di depan anak-anak, kami bedah, kami pelajari satu per satu bagian anatominya, bahkan setelah itu kita masak. Tujuannya agar anak-anak memiliki gambaran riil tentang ikan dan semakin menambah antusias anak untuk membaca buku tentang ikan,” ujarnya.

Deli Serdang dulu merupakan wilayah kesultanan yang memiliki kekayaan budaya serta kesusteraan dengan corak melayu. Rumah Baca Bakau hadir di tengah masyarakat yang tengah mengalami degradasi budaya secara signifikan.

Melalui program literasi budaya, Ismail dkk selalu mengenalkan kesenian lokal, seperti tari daerah, adat istiadat dan musik tradisional kepada generasi milenial Desa Percut. Sementara melalui literasi sastra, Ismail ingin mengenalkan kesusasteraan kepada anak-anak hingga mereka mampu menggali sastra itu sendiri.

“Program ini kami lakukan ketika menggelar kemah wisata literasi, kami selipkan juga kegiatan pertunjukan opera  melayu, panggung sastra, bedah buku, puisi, berbalas pantun,  tari dan menyanyi lagu daerah,” ungkapnya.

Anak-anak belajar membaca dan menulis di Rumah Baca Bakau di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Taman baca ini didirikan Ismail (38) dan rekan-rekannya agar bisa mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut. Perubahan ini penting agar warga tak abai lagi dan lebih peka terhadap lingkungan demi menjaga usia hutan mangrove lebih panjang.KOMPAS.com/M IQBAL FAHMI Anak-anak belajar membaca dan menulis di Rumah Baca Bakau di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. Taman baca ini didirikan Ismail (38) dan rekan-rekannya agar bisa mengangkat kemampuan literasi masyarakat Desa Percut. Perubahan ini penting agar warga tak abai lagi dan lebih peka terhadap lingkungan demi menjaga usia hutan mangrove lebih panjang.
Program Pustaka Keliling dilakukan untuk menjangkau potensi-potensi masyarakat yang tinggal di kampung terpencil. Ismail menyulap sepeda motor pribadi para relawan menjadi perpustakaan portabel. Dengan begitu, dia bisa memangkas jarak antara masyarakat dengan buku.

“Kami juga memiliki program sudut baca, yakni membangun semacam pondokan yang digunakan untuk memberikan akses kepada masyakarat yang jauh dari sekretariat rumah baca. Sampai saat ini total sudah ada dua lokasi sudut baca di dua dusun Desa Percut,” tuturnya.

Salah satu faktor resistensi masyarakat kepada aktivitas membaca anak-anak adalah stigma keliru jika membaca adalah kegiatan yang tidak produktif. Sebab, bagi masyarakat pesisir Percut yang didominasi oleh nelayan kecil, anak-anak lebih baik bekerja membantu orangtua di rumah.

Mangrove harus lestari

Sadar dengan hal tersebut, Rumah Baca Bakau mencoba memberikan pelatihan keterampilan kewirausahaan dan ekonomi kreatif kepada warga. Melalui program literasi finansial, para relawan mendampingi keluarga binaan untuk berinvoasi menciptakan produk-produk baru yang dapat bernilai ekonomis.

Produk hasil kreasi kudapan keluarga binaan Rumah Baca Bakau yang sudah dipasarkan antara lain, keripik dan cendol daun daruju (acanthus ilicifolius). Selain itu, berbagai macam limbah laut yang berhasil terhimpun dalam bank sampah dapat didaur ulang menjadi produk kerajinan.

Pada akhirnya, muara dari setiap program Rumah Baca Bakau adalah upaya pelestarian hutan mangrove di Desa Percut. Literasi lingkungan yang dimaksud oleh Ismail adalah menanamkan rasa cinta dan peduli kepada alam sejak dini.

Secara rutin, Ismail mengajak anak-anak Rumah Baca Bakau untuk berkeliling hutan mangrove menggunakan perahu.

Sembari membaca buku, mereka melihat secara langsung megahnya istana burung dan rapatnya benteng hidup yang selama ini menjadi pelindung kampung dari ganasnya ombak Selat Malaka.

Tak heran, rumah baca ini terpilih menjadi salah satu pemenang dalam ajang Gramedia Reading Community Competion (GRCC) 2018 karena konsistensi mereka mengampanyekan literasi di tengah situasi yang tak mudah dan membawa dampak positif di Desa Percut.

“Kami mengajak anak-anak untuk melakukan reboisasi lahan kritis. Anak-anak harus sadar jika kehidupan mereka dan orangtua mereka sangat bergantung kepada sumber daya pesisir. Hutan mangrove harus tetap lestari untuk kelangsungan hidup masa depan kami semua,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com