Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pewarna Alami dari Buah dan Tangkai Bakau Ini Disukai di Eropa

Kompas.com - 26/09/2018, 09:32 WIB
Heru Dahnur ,
Khairina

Tim Redaksi

PANGKAL PINANG, KOMPAS.com-Kepulauan Bangka Belitung tidak hanya terkenal dengan pariwisata, tapi juga memiliki potensi bahan pewarna alami yang menunggu untuk dikembangkan.

Pewarna alami yang berasal dari pigmen tanaman bakau ini pun telah dipresentasikan di University of Aarhus, Denmark, selama tiga hari, Rabu-Sabtu (19-22 September 2018).

Presentasi pewarna alami  yang disampaikan  pakar bioteknologi Indonesia Dr Delianis Pringgenies MSc (ketua), Dr Ervia Yudiati, Dr Ria Azizah, dan Endang Susilowati MSc (anggota), mendapat tanggapan positif baik dari warga masyarakat Denmark, ilmuwan dan peneliti Aarhus University, maupun dari staf dan Dubes RI.

"Tanggapan positif datang dari semua pihak, karena pewarna alami dari pigmen bakau itu sesuai dengan kampanye back to nature, ramah lingkungan, dan green issue. Selain itu, ia sangat baik bagi kesehatan pemakai pakaian berbahan alami,” ujar Delianis,  Rabu (26/9/2018) pagi.

Dia mengungkapkan, pemaparan pewarna alami dari tanaman bakau di Denmark dilakukan secara maraton.  

Tanggal 19 September, paparan dilakukan di depan warga Denmark dengan koordinator keluarga Willy Rasmussen. Tanggal 20 September, paparan dilakukan di depan ilmuwan dan peneliti Aarhus University, dan 22 September di Kedutaan Besar Indonesia di Denmark.

Pewarna alami yang berasal dari pigmen buah dan ranting tanaman bakau Desa Tukak Sadai, Bangka Selatan itu disukai masyakat Eropa dan Amerika.  

Di samping karena tidak mengandung bahan kimia, pakaian yang menggunakan pewarna pigmen bakau ini tidak menyebabkan alergi dan iritasi.

"Bahan yang terkandung dalam pigmen bakau atau mangrove itu di antaranya natural tanin, yang juga berfungsi sebagai bahan pengawet alami,” ujar Delianis, salah seorang dosen di Universitas Diponegoro, Semarang.

Baca juga: Batik dengan Pewarna Alami Indonesia Memesona Publik Swedia dan Latvia

Delianis, istri dari Prof Dr Ir Agus Hartoko MSc (pakar marine geopark), dikenal sebagai seorang pakar marine bioteknologi dunia yang dikenal konsisten melakukan penelitian dan membuat produk dari bahan-bahan alami.

Bekerjasama dengan Dharma Wanita Bangka Selatan yang diketuai Ekawati Yustiar, Delianis bulan lalu telah mempraktikkan cara mengolah buah dan tangkai bakau sebagai pewarna alami kepada ibu-ibu Desa Tukak Sadai.

Ia juga menjelaskan, tingginya nilai ekonomis cangkang kepiting yang banyak dibuang-percuma oleh warga setempat.

Cangkang kepiting  itu bila diolah sedemikian rupa dapat menjadi bahan  pengawet makanan alami. Di kalangan industri dikenal sebagai chitosan.

Sebagaimana dilakukan di Desa Tukak Sadai, pemberdayaan bagi masyarakat pesisir juga dilakukan Delianis di sejumlah provinsi. Termasuk mengenalkan pewarna alami bakau kepada pengrajin batik di Jawa Tengah.

Dalam konsep pemberdayaan masyarakat pesisir, Delianis dan rekan-rekannya paling sedikit membina dua keluarga.  Satu keluarga untuk membuat pigmen dari ranting dan buah bakau dan satu keluarga bekerja sebagai  pembatik.

“Upaya ini juga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan keluarga masyarakat yang kami bina.  Bayangkan saja, harga batik berbahan pewarna alami itu  berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta lebih,” ujar Delianis.

Bidang Humas Universitas Bangka Belitung Eddy Jajang menilai bahan pewarna alami menjadi potensi daerah yang perlu dikembangkan. Pasalnya, di pasar internasional harga produk berbahan alami  sangat tinggi.  

"Ini terjadi karena alasan kesehatan,  ‘back to nature’ (kembali ke alam) dan ‘green issue’ (isu hijau) yang saat ini marak dan menjadi acuan  bidang kesehatan  di semua negara, khususnya Eropa," kata Eddy.

Kompas TV Nilai Jual Tinggi, Tenun Ikat Songket Diburu Pembeli


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com