Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mat Kanon, Penari Kepercayaan Bung Karno

Kompas.com - 22/09/2018, 09:40 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com - "Kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya" pesan yang selalu diingat oleh Rahmat Basroil alias Mat Kanon. Pesan ini disampaikan langsung oleh Presiden pertama RI, Soekarno, kepadanya sekitar tahun 1964 silam.

Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih bermakna "tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya".

Ketika itu, Mat Kanon, masih menjadi penari kepercayaan Bung Karno. Ia selalu ikut lawatan Bung Karno ke luar negeri untuk membawa misi kebudayaan. Ia dan kawan-kawannya menari Jawa klasik hingga wayang orang.

Mat Kanon kini berusia hampir 70 tahun. Namun, jiwa dan raganya masih bugar melakukan aktivitas seni olah tubuh tersebut. Seolah tak peduli dengan hingar bingar modernisasi dunia, terutama dunia seni dan budaya.

Baca juga: Upaya Indonesia Pecahkan Rekor Dunia Tari Poco-poco....

Nama Mat Kanon tersemat pada dirinya karena bekas luka di kakinya akibat granat (canon) penjajah ketika ia masih kecil. Luka itu pun tak membuat Mat Kanon surut mencintai seni tari.

"Seperti pesan Bung Karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa dengan budayanya sendiri. Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih menjunjung tinggi budayanya," ungkap Mat Kanon, kepada Kompas.com, Jumat (21/9/2018).

Di usia senjanya, Mat Kanon masih aktif melatih anak-anak muda di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, untuk menari jawa klasik dan wayang orang. Kakek 13 cucu itu mengaku kerap rela tak mendapat upah demi tetap bisa menularkan ilmunya.

Kecintaannya pada dunia tari dimulai sejak usai Sekolah Rakyat (SR)--sekarang Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia sering melihat pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia mulai belajar sendiri sampai menemukan guru tari.

"Saya belajar alami saja, terus bertemu dengan guru, ikut menari dari kampung ke kampung. Sampai SMP dan SMA saya sudah mengajar tari anak-anak," kisahnya.

Mat Kanon, saat melatih anak-anak di sekitar rumahnya di Desa Podosoko, Sawangan, Kabupaten Magelang, Jumat (21/9/2018).KOMPAS.com/IKA FITRIANA Mat Kanon, saat melatih anak-anak di sekitar rumahnya di Desa Podosoko, Sawangan, Kabupaten Magelang, Jumat (21/9/2018).

Bertemu Presiden Soekarno

Tetapi keinginan Mat Kanon itu ditentang keras oleh sang Kakek. Kakeknya yang religius menginginkan Mat Kanon belajar agama ke pesantren dan majelis-majelis pengajian.

Mat Kanon remaja menolak keinginan kakeknya itu. Ia tetap bersikukuh menekuni tari meski tak direstui orangtuanya dan memilih meninggalkan rumah.

"Saya minggat (kabur) dari rumah. Pergi ke Gunung Kidul, hidup seadanya di gunung, tapi tetap menari. Sampai suatu hari ikut lomba di Semarang dan menang juara 1. Setelah menang itu saya ketemu guru tari lagi dan diajari," paparnya.

Mat Kanon melanjutkan, setelah dari Semarang dirinya pergi ke Purwokerto bersama guru barunya. Hingga suatu ketika ia dipercaya pentas menari di hadapan Presiden Soekarno pada acara kenegaraan di Purwokerto.

Dari situlah, Mat Kanon direkrut untuk ikut dengan Sang Proklamator. Ia bertugas untuk menari di hadapan tamu-tamu negara ke luar negeri, ke Malaysia, Singapura dan lainnya.

Selama lebih kurang satu tahun ia mengabdi kepada Soekarno sebelum kemudian ia berhenti dan kembali ke kampung halaman untuk mengajar. Ia juga sempat mengajar ke Jerman meski tidak lama.

Kini siapapun boleh belajar menari dengannya. Selain di rumahnya, Mat Kanon juga diminta untuk mengajar di sebuah sanggar Lemtid (Lembah Tidar) di Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Pertahankan Tari Jawa Klasik

Di sanggar milik seorang pecinta seni budaya, Tri Yudho Purwoko (Pur), ini Mat Kanon melatih anak-anak sampai dewasa menari Jawa Klasik dan Wayang Orang. Ia bertahan dengan tarian tersebut semata agar pakem tari Jawa Klasik tidak punah.

"Saya bersyukur ada Pak Pur yang peduli dengan seni dan budaya. Selama ini saya jarang dibayar, tapi di sini saya mendapat upah tiap bulan," ungkap Mat Kanon, yang sehari-sehari juga bertani itu.

Upah tersebut ia kumpulkan untuk membangun pendopo di depan rumahnya. Di pendopo itu lah ia melatih menari anak-anak di sekitarnya. Ia juga mendapat bantuan dari sukarelawan yang peduli dengan kelestarian Tari Jawa Klasik.

Sementara itu, Tri Yudho Purwoko mengapresiasi Mat Kanon yang masih bersedia menggeluti tari jawa tradisional meski usia tidak muda lagi. Ia menyediakan ruangan di rumahnya suapa Mat Kanon dan anak-anak di sekitarnya bisa berlatih menari.

"Siapapun boleh berlatik menari di sini, gratis, saya sediakan ruangan di rumah saya," jelas Pur.

Tidak hanya ruangan tari, Pur juga menyediakan studio musik yang lengkap dengan alat musiknya, hingga galeri seni rupa. Senada dengan Mat Kanon, Pur juga ingin generasi muda sekarang mencintai seni dan budaya negeri sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com