Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Seniman Madiun Ubah Kayu Bekas Peti Kemas Jadi Alat Musik Bernilai Tinggi

Kompas.com - 18/09/2018, 09:28 WIB
Muhlis Al Alawi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

MADIUN, KOMPAS.com - Erwan Prasetyo (54) tak menduga usahanya membuat alat-alat musik berbahan kayu bekas peti kemas menjadi buruan banyak orang.

Dari hasil kerja kerasnnya, seniman asal Kelurahan Kejuron, Kota Madiun, itu telah menghasilkan belasan alat-alat musik gesek dan petik seperti cello, ukulele, kentrung, biola, cak, dan cuk.

"Alat-alat musik yang saya produksi ini bahannya dari kayu bekas peti kemas," ujar Wawan, sapaan akrabnya, Jumat (14/9/2018).

Wawan menceritakan berbekal belajar di video-video Youtube, ia membuat alat-alat musik itu sejak setahun lalu. Awalnya dia menggunakan peralatan seadanya yang tersedia di rumah berupa tatah dan gergaji.

"Untuk membuat alat-alat musik ini saya belajar dari YouTube. Kemudian saya mempraktikkannya dan ternyata bisa," kata Wawan.

Wawan memilih kayu bekas peti kemas sebagai bahan baku karena cocok untuk digunakan sebagai alat musik petik maupun gesek. Tak hanya itu, nada yang dihasilkan terdengar nyaring saat alat musik itu dimainkan.

Baca juga: Mengenal Pelok Song, Alat Musik dari Biji Mangga

Keinginan Wawan membuat alat musik lantaran ia tidak mau lagi membeli alat-alat musik semenjak terjun bermain musik keroncong. Untuk itu, ia berinisiatif membuat alat musik sendiri sesuai kebutuhannya bermain orkes keroncong.

Wawan terjun menjadi seniman keroncong lantaran bakatnya yang diwariskan ayah dan kakeknya. Pasalnya, bapak dan kakeknya juga menjadi seniman musik keroncong.

Berbekal bakatnya itu, Wawan bersama beberapa rekannya membentuk grup Orkes Keroncong Chandra Buana Madiun. Grup bentukannya itu sudah manggung di acara hajatan di Medan dan berbagai daerah seperti Kalimantan, Surabaya, Solo, Ngawi dan Nganjuk.

Pengalaman manggung dan bermain alat musik petik dan gesek selama puluhan tahun, menjadikan Wawan ingin membuat alat musik keroncong sendiri. Tak heran saat mencoba membuat alat musik dari bahan kayu peti kemas ia langsung berhasil.

Hanya saja, untuk membuat alat-alat musik berbahan kayu bekas peti kemas tidaklah gampang. Bapak anak satu ini agak kesulitan mencari bahan-bahannya.

"Kayu bekas peti kemas itu gampang-gampang susah mencarinya. Karena tidak semua toko bangunan maupun toko kayu menjualnya," kata Wawan.

Bila ada maka satu lembar kayu peti kemas dengan ketebalan 7 cm dan lebar 30 cm serta panjang 3 meter seharga Rp 150.000. Kayu itu biasanya bisa untuk satu alat musik ukuran kecil.

Untuk membuat satu alat musik membutuhkan waktu dua minggu. Lamanya pembuatan karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran.

Kendati alat musiknya tidak diragukan lagi, namun Wawan mengaku kesulitan untuk memproduksinya secara massal. Keterbatasan alat produksi dan bahan baku menjadi masalahnya.

Baca juga: Pesan Alat Musik Keyboard di Facebook, Meyladi Malah Terima Batu Bata

Untuk membuat alat musik, Wawan hanya mengandalkan alat seadanya dan lokasinya di rumah. Padahal untuk memproduksi massal butuh tempat yang luas dan alat-alat modern.

Hasil karya alat musiknya dijual bervariasi. Satu alat musik dijualnya mulai dari harga Rp 800.000 hingga Rp 5 juta. Harga paling mahal berupa alat musik cello dijualnya Rp 5 juta.

Lantaran keterbatasan alat dan bahan, Wawan belum mempromosikan produknya secara luas. Saat ini ia hanya menerima pesanan saja.

Dari hasil karyanya, alat-alat musiknya banyak diambil pemusik lokal. Bahkan cello buatannya sudah dilirik warga asing dari Brunei Darussalam.

Kompas TV Tidak hanya berbicara soal destinasi wisata Pulau Dewata, Bali juga memiliki seni musik tradisional yang menarik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com