KOMPAS.com - Jelang tengah malam 1 Suro, iring-iringan tujuh ekor kebo bule Kiai Slamet keluar dari gerbang timur Kori Kamandungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lima orang “semut ireng” mengiringi sambil menyebar ketela untuk dimakan oleh kerbau-kerbau itu.
Ketujuh kerbau itu berada di urutan pertama sebagai pembuka jalan arak-arakan pusaka keraton mengelilingi kota Solo.
Di belakang mereka, para abdi dalem yang terdiri dari beberapa perempuan keluar dari pintu utama Kori Kamandungan dengan membawa sesaji untuk diberikan kepada ketujuh kerbau tersebut.
Berikutnya, puluhan abdi dalem, kerabat keraton, dan keluarga keraton keluar dari pintu utama membawa 17 pusaka keraton.
Masyarakat antusias memadati kawasan keraton siap berebut sisa makanan dan minuman kerbau, bahkan berusaha meraih kotoran kerbau (tlethong).
Kirab malam 1 Suro merupakan salah satu tradisi keraton Surakarta yang digelar rutin setiap tahun.
Dikenal sebagai kota budaya, Surakarta yang lebih populer dengan sebutan Solo, kental dengan tradisi, adat dan budaya Jawa yang mengakar hingga kini.
Baca juga: Di Balik Makna Peringatan 1 Suro bagi Masyarakat Jawa...
Kota Solo merupakan kota kuno yang dibangun oleh Pakoe Boewono II. Riwayat kota ini tidak lepas dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan penerus Kerajaan Mataram Islam.
Menengok sejarah terbentuknya kota Solo, erat kaitannya dengan peristiwa berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning tahun 1742. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan “Geger Pecinan” itu terjadi pada masa pemerintahan Raja Kartasura, Sunan Pakoe Boewono II.
Pemberontakan itu akhirnya dapat ditumpas dengan bantuan VOC Belanda dan Keraton Kartasura dapat direbut kembali. Namun bangunan keraton hancur lebur, sehingga perlu mencari lokasi ibu kota untuk membangun keraton yang baru.
Nama “Surakarta” diberikan bagi pusat pemerintahan baru itu, yang kemudian dikenal dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat.
Kehadiran dua nama, Solo dan Surakarta menjadi keunikan bagi kota tua ini. Ada beberapa cerita dibalik dua nama itu. Konon Kota Solo awalnya dibentuk oleh masyarakat kuli (dalam Bahasa Jawa: soroh bau dan pemimpinnya disebut Ki-Soloh atau Ki-Solo atau Ki-Sala) yang berada di Bandar Nusupan.
Baca juga: Naik Kereta Garuda Kencana, Raja Keraton Surakarta Sebar Koin ke Warga
Mereka tinggal di tepi sungai Bengawan Solo, di dekat pelabuhan tempat mereka bekerja untuk majikannya yang ada di Kadipaten Pajang (1530-an), sehingga membentuk permukiman tepian sungai.
Dalam "Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa” dari Jurnal Lanskap Indonesia I Vol 2 No 2 Tahun 2010 disebutkan, daerah yang digunakan sebagai pusat pemerintahan baru kerajaan Mataram ini disebut Sala, karena di sana hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama Ki Gede Sala.